Arthur berjalan melewati Helena yang mengamuk padanya tanpa merasa bersalah sama sekali.
Dia pura pura tak mendengar semua teriakan dan amarah Helena yang membuat istrinya itu semakin terbakar api amarah.
"Kita harus pindah!!"
Helena mendahului Arthur dan berdiri didepannya.
"Kita tidak bisa pindah Helena." jawab Arthur dengan nada acuh berjalan menuju kamar sambil membawa koper mereka.
"Aku tidak mau tahu! pokoknya kita harus pindah!"
Helena dengan keras kepala kembali menghentikan langkah Arthur.
"Aku bilang tidak bisa. ya, tidak bisa. lagi pula apartemen ini sangat nyaman." Cuek arthur.
"Oh, apartemen ini memang sangat nyaman. tapi, aku tidak suka dengan ide satu kamar dalam apartemen ini!" Gerutunya.
"Hanya ini yang tersisa. Mereka memesankannya saat aku masih bujangan." jawab Arthur sambil lalu. melewati Helena lagi, menuju dapur.
"Tapi sekarang kau sudah menikah, seharusnya mereka memberikan apartemen yang lebih luas."
Arthur hanya diam sembari mengisi dua gelas dengan air putih.
Helena menyipitkan sebelah matanya saat melihat gelagat arthur. "Jangan katakan, kau belum memberitahu mereka kalau kau sudah menikah?"
"Bingo."
Arthur meneguk air sambil mengedipkan sebelah matanya pada Helena yang semakin marah, kaki istrinya itu sibuk menghentakkan lantai dengan ujung heelsnya.
Arthur merasa geli sendiri melihat sikap keras Helena yang ingin memiliki kamar terpisah darinya.
Memangnya apa yang dipikirkan Helena tentangnya. menerkam dia saat tidur? Arthur mendengus memikirkannya.
Istrinya terlalu berharap.
mereka menikah karna tanggung jawab bukan karna cinta jadi tidak akan mungkin ada sentuh menyentuh dalam pernikahan mereka.
Helena kini berkacak pinggang dudepannya. "Arthur! kalau kau tak mau pindah, aku akan cari apartemen sendiri."
"Silahkan. aku tidak akan melarangmu."
Helena menatap Arthur tak percaya, menatap pada pria cuek didepannya yang tak berusaha sedikitpun untuk menentang kepergiannya. dia pun menggeram marah sembari mengangkat kaki keluar.
"Helena!" Arthur tiba tiba memanggil Helena saat ia sudah berada didepan pintu.
"Apa?!"
Helena berhenti dengan wajah berkerut, merasa akan dihalangi kepergiannya oleh Arthur tapi dadanya sedikit membuncah senang saat arthur menghentikan langkahnya untuk keluar dari apartemen.
"Aku sarankan kau membeli sebuah kamus." Arthur kembali mengedipkan sebelah matanya, menggoda istrinya yang dalam sekejap dipenuhi oleh api amarah.
"Selamat mencari."
Arthur terkekeh mendengar Helena yang berteriak marah dari balik pintu.
"Dasar Miss bossy. Dia akan membutuhkan ini saat kembali." ujarnya sembari meletakkan segelas air diatas mini bar.
***
Sudah hampir sejam Helena berdiri di lobi apartemen. Ia merasa begitu asing dengan negara yang baru didatanginya itu.
Telinganya pusing mendengarkan orang orang di sekitar yang bercuap cuap dengan bahasa asing yang sama sekali tidak dipahaminya.
Beberapa laki bertubuh gempal menyapanya. membuatnya semakin takut.
"Puedo ayudarle, senorita?"
"What? no no.. hush..Menjauhlah."
Helena sibuk mengipas ngipaskan tangannya sambil menjauh dari laki laki besar bertubuh gelap yang tiba tiba muncul didepannya.
Tetapi laki laki itu masih saja mengikutinya. merasa terancam Iapun kembali berlari kedalam apartemen dengan putus asa memaki maki Arthur dalam hatinya.
"Terkutuklah kau, Arthur Morrison."
***
Arthur berbaring diatas ranjang sembari mengecek beberapa email yang masuk di Mac-nya.
Jantungnya serasa melompat saat mendengar pintu dibanting. kemudian suara hak sepatu yang berisik terdengar didapur.
Arthur menggelengkan kepalanya saat terdengar lagi suara gelas yang dihempas keras.
"Kau kembali?" tanya Arthur sarkastis dengan alis terangkat saat Helena muncul dikamar dan mengacuhkannya menuju kamar mandi.
Beberapa menit kemudian Helena keluar dengan T-Shirt hitam longgar sebatas paha. celana dalam renda berwarna merah mengintip dari balik T- shirtnya saat dia berjalan.
Oh, sayang. kalau kau ingin menjauh dari bahaya sebaiknya kau memakai baju perang yang lebih sopan.
"Jangan sekalipun berpikir kau bisa menyentuhku."
"Kau terlalu berharap." ujar Arthur santai tanpa sekalipun melepaskan pandangannya dari Mac. merasa ditolak, harga diri Helena merasa diinjak injak yang membuat emosinya semakin meledak.
"Kau tetap di posisimu atau aku akan memotong kedua bola mu.paham?!"
Helena berdiri didepan ranjang, berkacak pinggang. raut wajahnya menggambarkan jelas ancamannya. Sedangkan Arthur merinding membayangkan apa yang akan terjadi dengan bolanya.
"Yes, ma'am."
Helena dengan kesal dan mulut yang terus cemberut masuk kedalam selimut, membelakangi Arthur yang kesusahan menelan ludah akibat ancaman helena.
Dia merasa memelihara anak kucing liar yang sedang senang menunjukkan cakar dan taring kearahnya.
Arthur menghela napas dan kembali berkutat pada Mac.
***
"Daddy!!"
Bayi raksasa dengan popok menggantung di pinggulnya berlari kearah Arthur yang berusaha melarikan diri.
Benda benda disekitar Arthur berguncang setiap kaki bayi raksasa itu menginjak tanah.
"Menjauhlah.. hush.. hush!!" Arthur berteriak, kakinya yang panjang mengambil langkah seribu menjauh dari terkaman bayi raksasa yang berliur.
"Aku mendapatkan mu." ujar sibayi sambil cekikikan ketika jari jari gempal melilit tubuh Arthur.
Arthur bergerak gelisah. berusaha melepaskan diri tapi cengkeraman si bayi begitu kuat membuatnya putus asa.
"Turunkan Aku, boy. Oke. aku janji kita akan bermain."
Si bayi menggeleng dengan kelewat bersemangat yang membuat air liurnya ikut berterbangan.
Arthur mengernyit saat kepala si bayi tiba tiba berubah menjadi kepala Helena.
"Saatnya memotong bola mu, Nerd."
"Ti.. tidak tidak!! TIDAK!!!"
Arthur terbangun dari mimpi buruknya. matanya mengerjap beberapa kali, memandangi isi kamar barunya.
Ia bernapas lega saat menyadari semua yang dialaminya barusan hanyalah sebuah mimpi buruk. Arthur berusaha beranjak tapi tubuhnya kaku. Kini sesuatu melilit tubuhnya dengan kuat.
Arthur sedikit lega ketika Helena yang sedang tidurlah yang memeluknya atau lebih tepatnya melilit tubuhnya seperti bantal guling.
Pantas saja dia bermimpi buruk seperti tadi. Arthur berusaha melepaskan tangannya tapi hanya jari jarinya yang bisa bergerak di sisi tubuhnya
Arthur mencoba kembali menggerakkan tangannya hingga mendarat di permukaan yang lembut.
Hemm apa ini?
Kelima jari Arthur terbenam kedalam sesuatu yang lembut dan kenyal. tangan Arthur yang gatal terus meremasnya.
Bulat, kenyal, lembut dan halus... hemm sempurna.
"Eheem!"
Arthur tersadar memandang ke bawah dan menatap mata Helena yang kini sudah terbuka dan diliputi amarah.
"Aku tidak berbuat apa apa!" Arthur melepaskan genggamannya dan melarikan kedua tangannya pada selangkangannya berusaha melindungi dua bola berharga yang berada disana.
PLAAAAK!!!
Ouch.. dia melupakan pipinya.
***
"Aku juga korban disini. bukan hanya kau!"
"Tapi tanganku tidak menggerayangi tubuhmu dan melakukan gerakan asusila." Helena melotot pada arthur yang menghela nafas dengan gaya tidak terima.
"Asusila! yang benar saja. aku hanya mencolek pantatmu sedikit."
"Aku bisa memfoto cetakan tanganmu dipantatku dan itu bukanlah colekan tapi sebuah Remasan." Sahut helena yang tanpa sadar menggenggam pantatnya sendiri.
"Kalau begitu kau juga melakukan sebuah asusila padaku." Balas arthur sembari menyilangkan kedua tangannya didepan dada.
"Aku?! Omong kosong, kau bahkan tidak memiliki bukti."
"Kau ingin bukti? aku bisa menunjukkan kepada dokter lebam di lengan dan dipahaku saat tangan dan kakimu melilitku untuk dijadikan visum! Ada indikasi disana sebuah perbuatan asusila karna aku tidak pernah menyuruhmu untuk memelukku."
Arthur mengusap usap lengannya berusaha menjadi orang yang teraniaya. belum lagi pipinya yang masih berdenyut dan merah akibat tamparan dari Helena.
"Kau... eph.." Helena membekap kedua mulutnya dengan mata menyalang kemudian berlari menuju kamar mandi.
"Kau kenapa?" Arthur setengah berlari mengejar Helena.
"Hueek..."
Helena terduduk didepan closet. mengeluarkan seluruh isi perutnya. Arthur yang tidak tega sekaligus bingung langsung menghampirinya.
Menarik rambut Helena yang kusut didekat wajahnya dan menggulung nya keatas.
Tangan Arthur yang lain sibuk mengusap punggungnya mencoba meredakan sakit yang didera Helena.
"Kita harus kerumah sakit"
Helena menggeleng dan kembali muntah.
"Kau terus muntah..." Helena mendorong Arthur dan kembali muntah.
"Kenapa kau mendorongku? aku mencoba membantu disini. kalau kau memang tak setuju, kau cukup mengatakannya."
"Aku sedang sibuk mengeluarkan isi perutku disini! bisakah kau membantuku dalam diam!" Helena berhasil berhenti muntah, ia berusaha berjalan menuju wastafel, tapi langkahnya yang gontai membuatnya hampir terjatuh.
"Maaf." Arthur dengan sigap memeluk pinggangnya dan membawa Helena menuju wastafel untuk mencuci mulutnya.
Dengan telaten arthur merapikan rambut helena kebelakang sehingga tidak mengganggu helena saat berkumur kumur.
"Bawa aku ke tempat tidur." pinta Helena.
"Apa kau yakin tidak ingin kerumah sakit?" Tanya arthur sekali lagi.
"Please, Arthur."
Helena lebih memilih muntah seharian daripada kerumah sakit. Membayangkan tempat serba putih itu saja sudah membuat kepalanya pusing.
Arthur menghela napas dan memapah Helena menuju tempat tidur. direbahkannya tubuh Helena diatas ranjang kemudian menyelimuti tubuh Helena hingga menutupi dagunya.
Arthur mengusap peluh di dahi Helena dengan punggung tangannya dan menjauhkan anak rambut yang berserakan dari dahi Helena
"Apa kau selalu mengalami ini setiap pagi?" tanya Arthur sambil terus melap keringat diwajah Helena.
"Hemm." Helena bergumam berusaha menenangkan perutnya yang masih bergejolak.
Mendengar pengakuan helena muncul rasa bersalah dalam diri Arthur. setiap pagi Ia harus mengalami penderitaan seperti ini sedangkan dia enak enakan menyantap sarapan. Arthur memandang wajah tirus helena yang tampak kelelahan. Matanya terpejam dengan alis yang sedikit berkedut.
"Maaf. aku tidak ada disana saat kau mengalami ini." Arthur dengan tulus meminta maaf dan naik keatas kasur memeluk tubuh Helena yang dibasahi oleh keringat. Membuat tubuh helena menegang menerima pelukan yang tiba tiba itu.
"Maaf atas ketakutan yang kau alami saat pertama kali mengetahui hal ini."
Arthur mengecup puncak kepala Helena.
"Maaf membiarkan mu mengalami hal ini sendirian. aku minta maaf."
Kalimat sedethana yang diucapkan arthur entah kenapa begitu bermakna untuk Helena. Hingga ia menangis didada Arthur.
ketakutan dan kesakitan yang dialaminya begitu mencekam. tak ada tempat berbagi tak ada tempat untuk melepaskan ketakutannya selama ini.
Karna dia sebatang kara. berpijak dengan kedua kakinya tanpa ada siapapun yang menopangnya. Semua dipikulnya sendiri.
Helena menangis sejadi jadinya. Membuat arhur begitu pilu begitu menyesakkan saat mendengar istrinya menangis. Arthur mengusap punggung Helena yang bergetar, berusaha mengurangi beban yang dipikulnya.
Helena menengadahkan wajahnya yang basah karna air mata menatap Arthur. Arthur tersenyum kemudian mengecup kelopak mata Helena yang tertutup turun menciumi pipinya yang basah.
"Sekarang kau tidak sendirian lagi. ada aku, ada anak kita. Kami selalu ada disisimu."
Arthur kembali memeluk Helena.
***
Helena terbangun setelah beberapa jam tertidur. tangan dan kakinya kembali melilit tubuh Arthur.
Membuat dirinya sendiri terkejut dengan yang alam bawah sadarnya perbuat.
"Pagi lagi."
Pemilik suara serak menyapanya. Arthur yang sudah terbangun dari tadi menatapnya dengan sorotan geli.
Arthur sudah belajar dari pengalaman. sehingga tangannya kini berada dikedua sisi tubuhnya tak berani bergerak sedikitpun.
Sedangkan Helena terpaku oleh tatapan mata hijau Arthur tanpa kacamata yang menghalangi. Warna hijau yang cerah bertabur wana abu abu yang bias ditepinya membuat warna hijau itu semakin cemerlang seperti warna batu zambrud.
Matanya tak sedikitpun berkedip menatap Helena yang mulai merasakan panas dingin disekitar perutnya.
Tubuh Arthur mendekat, bibirnya hanya berjarak satu centi dari bibir Helena. Membuat jantung Helena mulai berdegup dengan kencang. darah dipompa cepat di seluruh urat nadinya.
Apa ini? perasaan apa ini?
Helena bertanya pada dirinya sendiri saat Ia merasakan sesuatu yang mengembang di perutnya seperti mengharapkan sesuatu.
Saat bibir Arthur semakin mendekat hingga Ia bisa merasakan deru nafas Arthur, Helena spontan menutup matanya. Menunggu bibir Arthur menyatu dengan bibirnya.
Alih alih penyatuan bibir. Arthur menempelkan dahinya di dahi Helena. Mengukur dengan seksama suhu badan Helena.
"Suhu badanmu sudah kembali normal. Warna kulitmu juga berwarna lagi... Bahkan, lebih berwarna." Arthur mundur untuk mengamati wajah Helena yang tiba tiba memerah.
Malu dengan kelakuannya sendiri, Helenapun mendorong dada Arthur untuk menjauh.
Helena berdeham untuk mengendalikan emosinya. "Apa kau tidak kerja?"
Arthur menaikkan bahunya. "aku ragu meninggalkanmu sendiri di rumah."
Helena menaikkan sebelah alisnya saat mendengar perkataan konyol arthur. "Aku baik baik saja. Mual hanya terjadi di pagi hari setelah itu dia tidak akan muncul lagi."
Arthur meragu, membuat Helena berdecak kesal. Dia hanya morning sickness bukan pasien gawat darurat yang setiap menit harus dijaga.
"Ku yakinkan padamu ini memang selalu terjadi pada ibu hamil. Hormon kami bekerja dengan berlebihan." ujar Helena seraya turun dari tempat tidur.
Arthur dengan cepat menarik pergelangan tangan Helena sehingga Ia kembali berbaring diatas tempat tidur.
Arthur naik keatas tubuh Helena. menggenggam masing masing tangan Helena dan meletakkannya disisi tubuh Helena.
Arthur terkekeh saat melihat mata Helena yang melebar karna terkejut. Arthur menatap kearah payudara Helena yang naik turun. Senyum kecil terlihat disudut bibirnya.
Jantung Helena berdetak dengan kencang. Otaknya mulai membayangkan malam yang tak seharusnya terjadi. Malam dimana jari jari tangan Arthur membelai setiap inci kulitnya. Malam dimana benih ditaburkan.
Membayangkan hal itu membuat celana dalam Helena basah seketika. Kedua paha Helena saling mengapit, menyembunyikan bukti gairahnya.
Helena menggelengkan kepalanya, berusaha bersikap rasional dan mengesampingkan hasrat libidonya yang timbul.
"Apa yang kau lakukan!" teriak Helena, berusaha melepaskan kedua tangannya dari cengkeraman Arthur. Berusaha menjernihkan pikirannya.
"Sssshhhh... tenanglah."
Kepala Arthur turun dari payudara Helena menuju perutnya. Sumpah serapah terlontar dalam hatinya saat ujung hidung Arthur menyentuh tepi putingnya. mengakibatkan putingnya menegak minta disentuh dan disayang.
Arthur menunduk dan mencium perut Helena. Dalam sekejap perut Helena menghangat akibat kontraksi. Sekelompok kupu kupu berterbangan diperutnya, menyebabkan seluruh kulitnya meremang akibat sentuhan Arthur.
"Hai kiddo." Sapa Arthur didepan perutnya yang masih rata.
"Ini Daddy." Arthur mengedipkan mata pada Helena saat mereka bertemu pandang dan Arthur kembali melihat perut Helena.
"Daddy akan pergi kerja untuk mencari uang yang banyak untukmu. Jadi mommy akan sendirian dirumah. Daddy harap kau tidak berulah kiddo.. Jangan menyusahkan mommy. Oke?"
Arthur memiringkan kepalanya dan mendaratkan sebelah kupingnya ke perut Helena. Mata hijaunya menatap wajah Helena lekat. Helena sendiri hanya bisa tercengang membalas tatapan arthur.
"Aha... Hmm.. Oke, oke." Arthur bergumam seperti sedang berbicara dengan seseorang.
Helena hanya bisa terdiam tak berkutik. Perutnya tanpa sengaja mengempis saat merasakan hangat wajah Arthur dikulitnya. Helena hanya berharap, semoga kali ini tidak ada bunyi perut kelaparan yang memalukan lagi.
Arthur mengangkat kepalanya tanpa memutuskan pandangannya dan sebuah senyum melekat erat diwajahnya. "kiddo ingin kau berjanji untuk tidak berkeliaran kemana mana dan menelpon Daddynya setiap jam."
Alis Helena mengkerut. Bingung akan kalimat arthur. Kedekatan mereka membuat otak helena tak bisa berkerja dengan baik "a.. aku.."
Sebelum helena selesai bicara, Arthur mencium perut Helena tiba tiba, membuat Helena kembali terdiam.
"Mommy mengatakan iya. Jadilah anak baik, kiddo." Ucap arthur.
Arthur mencium perut Helena sekali lagi dan melepaskan pergelangan tangan Helena.
Sebelum Helena sempat protes dan kembali waras Arthur sudah berlari menuju kamar mandi.
Helena mengutuk dirinya dan memaki dengan bahasa yang paling kotor karna merasakan gairah atas perbuatan Nerd Arthur.
***
"Mana handphone mu?" Tanya Arthur yang muncul di dapur saat Helena sedang menyiapkan sarapan dari bahan bahan seadanya.
"Untuk apa?" tanya Helena tanpa repot repot berbalik menghadap Arthur. Sibuk menata isi sandwichnya.
"Apa kau tidak mendengar, apa yang dikatakan kiddo tadi pagi?" nada mengejek terdengar dari kalimat Arthur membuat Helena mau tak mau menatapnya.
Kedua alis Helena kembali terpaut dengan eksperesi ngeri menatap penampilan Arthur.
"Kau serius akan pergi kerja dengan dandanan seperti itu?" tanya Helena sambil berkacak pinggang menatap Arthur dari bawah hingga keatas.
Arthur ikut memandang pantulan dirinya sendiri dari lemari es. Arthur bingung, dia merasa tidak ada yang aneh ataupun salah dari penampilannya.
Jas abu abu tua,celana dan dasi dengan warna senada ditambah kemeja putih didalamnya.
Ia tampak luar biasa, mengapa Helena menatapnya seakan akan dia memakai gaun tipis wanita tua milik neneknya dengan rol rol rambut warna warni menghias kepalanya.
"Tidak ada yang salah dengan penampilanku." ujar Arthur.
"Semua yang kau pakai membuatmu terlihat berlipat lipat lebih tua. Hell, tentu saja itu salah." ucap Helena dengan sarkastis.
"Benarkah?" Desah Arthur kembali menatap pantulan dirinya. wajahnya tampak sendu membuat Helena merasa bersalah tak menyangka Arthur tiba tiba menjadi begitu sensitif.
"Kemarilah." Helena menarik tangan Arthur dan kembali membawanya kedalam kamar.
Membuka lemari pakaian dan memilah milah isi lemari. mengambil satu baju dan menempelkannya didepan tubuh Arthur.
Arthur menggigit bibir bawahnya dan berdiri diam dibelakang helena yang sibuk membongkar isi lemari Arthur.
Setelah beberapa kali cek dan ricek isi lemari. Akhirnya Helena mengambil kemeja bergaris berwarna ungu, dasi berwarna unggu yang lebih gelap dan satu stel jas berwarna abu abu pudar.
"Kau menyuruhku memakai warna janda?"
Salah satu alis Arthur naik menanyakan selera fashion Helena, sedangkan Ia hanya memutar bola matanya.
"Tak kusangka kau mempercayai mitos seperti itu. Ungu sekarang sudah menjadi warna universal bukan hanya untuk seorang janda. Sama seperti pink, warna itu sekarang sudah bisa dipakai untuk semua gender."
Sebelum Arthur mulai berargumen Helena mendorong Arthur ke kamar mandi dan menutup pintu.
"Ganti pakaianmu dengan itu dan temui aku di dapur!" teriak Helena seraya pergi meninggalkan Arthur yang mengomel didalam kamar mandi.
Sesampai di dapur Helena sibuk menyiapkan sandwichnya kemudian merasa tidak enak hati pada Arthur dan menyiapkan satu sandwich lagi untuk Arthur. Lagu yang di senandungkan Helena saat menyiapkan sandwich terhenti ketika Arthur muncul dengan wajah bertekuk. Kedua lengannya terbentang menanyakan pendapat.
"Bagaimana? apa aku masih terlihat tua?" tanyanya.
Helena berdiri mengamati Arthur. telunjuknya bergerak memutar, memberikan perintah pada Arthur untuk mengikuti gerakan tangannya.
Tanpa banyak bertanya Arthur berputar dan kembali menghadap Helena yang menyipitkan matanya mengamati penampilan Arthur, berlagak seperti seorang pengarah gaya.
"Yaph mamamia! mahakarya yang luar biasa dari seorang Helena Hugo." ujarnya bangga.
"Morrison, Helena Morrison. ingat kau sudah menikah." tegur Arthur membetulkan.
Jari manis Arthur yang terpasang cincin emas naik keudara. mengingatkan mengenai status mereka pada Helena yang kembali memutar kedua bola matanya.
"Duduk dan makanlah. ada satu hal yang akan kuperbaiki darimu."
Arthur duduk disebelahnya. mengambil piring yang berisi sandwich beberapa lapis. Arthur memakan dengan lahap, tak pernah tahu ada sandwich seenak buatan Helena.
"Pantas saja cafe mu laris. Ini sangat enak." puji Arthur dengan mulut terisi.
Helena mengernyit. "kau jorok! Abiskan makananmu dulu, baru berbicara..." Helena kemudian berdeham dengan senyum mulai menghiasi wajah cantiknya. "well, terima kasih pujiannya."
Arthur mengangguk sambil terus melahap makanannya. Sama sekali tak sadar saat Helena mendekat kesampingnya. jari jari lentik Helena mendarat di rambut Arthur yang sudah disisir dengan model klimis. Mengacak acaknya.
"Aba Bang ko bakukan?" Tanya Arthur dengan mulut penuh makanan.
"Mempermuda dirimu. Makan saja makananmu. Jangan banyak bergerak." perintah Helena.
Arthur hanya diam, menikmati sentuhan tangan Helena di kulit kepalanya. aliran darah mengalir deras ke sekujur pembuluh darahnya ketika payudara montok Helena menggesek lengannya.
Isi kepala Arthur sibuk membayangkan kekenyalan payudara Helena dikedua tangannya, membuat sesuatu didalam celananya berkedut dan mulai bangun.
Berkedut semakin kuat saat mencium aroma Helena yang begitu menggiurkan. Makanan terlupakan begitu saja. Arthur menutup matanya, hidungnya sibuk mengendus aroma Helena.
"Sekarang kau terlihat lebih muda." ujar Helena sembari menjauh menatap karyanya dengan bangga. kemudian mengernyit melihat eksperesi damai Arthur dengan kedua mata yang terpejam.
"Kau makan sambil tidur?" Tanya Helena membangunkan Arthur dari lamunan tak senonohnya.
"Apa? ti.. tidak. aku hanya mengagumi rasa makananmu. menghayati cita rasanya." jawab Arthur kelabakan.
"Nerd." ucap Helena sambil menggeleng kemudian memakan sandwichnya.
Arthur bernafas lega karna Helena tidak curiga kemudian mengalihkan pembicaraan.
"Mana handphonemu?"
Capek dengan argumen tak masuk akal Arthur tentang kiddo Helena pun memberikan handphonenya.
Arthur menekan tombol satu dan melihat ada kontak disana. kontak tersebut bernama Luke Lennings.
Nama pria itu membuat Arthur seketika jengkel dan menghapus kontak tersebut tanpa sepengetahuan Helena. terkekeh saat dia menyimpan nomornya kedalam speed dial satu kemudian menekan tombol panggil.
Nomor Helena muncul di layar handphone miliknya. setelah nomor benar benar tersimpan, Arthurpun mengembalikan handphone Helena.
"Aku akan berangkat." Arthur bergegas mengambil tasnya yang berada didalam kamar.
"Hmm." jawab Helena yang masih sibuk dengan makanannya.
"Ah, aku lupa." ucap Arthur ketika sudah sampai di pintu depan dan kembali menemui Helena.
"Apa?" tanya Helena bingung saat Arthur mendekat. Arthur tanpa rasa bersalah mengecup pipi Helena. Helena hanya membelalak kaget dengan tingkah Arthur.
"Terimakasih untuk make over dan makanannya." ucap Arthur kemudian melenggang pergi meninggalkan Helena yang masih terdiam.
Tangannya naik menyentuh sesuatu yang memanas di pipinya tempat bibir Arthur mendarat dengan mulus.
Belum selesai Helena terkejut, wajah Arthur kembali muncul mengagetkannya.
"Satu hal lagi. aku sudah menghapus kontak Luke-ntah-siapa-itu dan menggantinya dengan nomorku." ujar Arthur sambil mengedipkan sebelah matanya, kemudian benar benar pergi meninggalkan Helena yang kali ini penuh amarah setelah mengecek kontak di ponselnya.
"Dasar Nerd!!!"
Arthur kembali terkekeh mendengar teriakan Helena di lorong apartemennya. bersiul menuju lobi dengan suasana hati yang begitu berwarna.