Senin, 19 Mei 2014

Karma Circle (Part 5)


Menikahinya?!

Helena menyarankannya supaya ia menikah dengannya?

Arthur ingin tertawa sekarang, ini begitu konyol. Tapi kekerasan yang tampak dalam mata coklat gelap Helena menyatakan dengan jelas bahwa dia tidak bercanda.

"well?" kata Helena

"bagaimana? Kau hanya akan diam saja disitu?" Tanya Helena mengamati Arthur dengan tatapan keras dan ada sedikit nada mencemooh dari suaranya.


"air."

"apa?"

"air. Aku butuh air."

Arthur langsung melangkah melewati Helena ke lemari es tanpa basa basi mengambil sekaleng bir dan membukanya.

"Ah maaf, aku lebih memilih bir saat ini ketimbang air dingin."

Helena mendengus seraya memutar matanya mendengar nada sarkasme Arthur. "terserah."

"terima kasih."

Arthur mengangkat kaleng bir, memberi hormat kepada tuan rumah dengan gerakan mengejek. Arthur menyesapnya sambil memperhatikan Helena dari kaki beranjak perlahan ke puncak kepalanya.

"kau sudah mendapatkan minumanmu, dahagamu sudah terpenuhi dan sekarang mari kita bahas tentang yang kuajukan tadi."

Arthur menutup kedua matanya dan meremukkan kaleng bir dengan geram. Kaleng yang sudah gepeng tersebut dilemparnya begitu saja kedalam tong sampah. Jari jarinya yang bebas menyisir rambutnya kebelakang membuatnya semakin berantakan.

"ini sama sekali tidak mirip dirimu, Artie. Biasanya kau selalu punya sesuatu untuk dikatakan."

Wanita didepannya berdiri sangat angkuh dan percaya diri. Terlepas dari penampilan Helena yang awut awutan.

Apakah ia berharap aku akan berlutut penuh rasa terima kasih?

Apakah ia mengharapkan aku bertepuk tangan akan gagasannya yang konyol itu?

Dan Mengikat diri pada wanita ini untuk menebus semua perasaan bersalah?

Arthur berusaha keras meredam emosinya dan berbicara dengan suara yang lebih datar.

"terima kasih tapi aku tidak tertarik."

"tidak tertarik?" senyum Helena menipis.

"kau bilang kau tidak tertarik?"

"benar. Beri aku satu alasan mengapa aku harus menikahimu."

"alasan? Ya, ampun. Kau minta alasan?! Bukankah sudah terlihat jelas!" suara Helena meninggi. Arthur dengan santai kembali mengambil sekaleng bir dari lemari es, berusaha tak terpengaruh dengan teriakan Helena.

"bukankah kita berdua sudah sepakat menanggung ini bersama sama? Yang berarti bukan hanya aku yang harus memikul tanggung jawab ini."

"tidakkah kau tahu? Sekarang sudah menjadi hal biasa sebagai orang tua tunggal. Kita tetap bisa membesarkannya bersamasama tanpa terikat dalam pernikahan. Kau tidak perlu memikirkan soal biaya. Aku yang akan menanggung semuanya."

"aku tidak butuh uangmu!" Helena berteriak sekuat tenaga mengeluarkan seluruh kemarahan dan rasa frustrasi yang melandanya. "ya, aku juga tahu mengenai hal itu dan aku juga sudah merencanakannya. Menjadi orang tua tunggal untuk bayiku."

"Oh, ya? aku sungguh tidak mengerti jalan pikiranmu, kau ingin menjadi orang tua tunggal? Lalu untuk apa pernikahan ini?" balas Arthur dengan suara yang tak kalah tinggi.

"apa kau ingin membuatku menanggung rasa bersalah seumur hidup karna menghamilimu?" Arthur semakin mendekatkan tubuhnya kearah Helena. gerakannya mengintimidasi Helena.

"Apa kau ingin membalas dendam atas perbuatanku selama ini padamu?" Arthur mencecar Helena hingga Helena merasa terpojokkan.

"Katakan padaku mengapa kita harus menikah? Katakan padaku alasan yang sebenarnya?!"

"karna aku anak haram!" Teriak Helena.

Eksperesi wajah Helena begitu tersiksa. Kenyataan yang baru diucapkannya membuat dada Helena merasa sesak penuh dengan kesakitan yang memilukan. kedua matanya menatap Arthur yang terdiam ditempatnya berdiri.

"karna aku dilahirkan sebagai anak haram." bibir bawah Helena bergetar. Ia berusaha sekuat tenaga untuk tidak menangis.

"Kau puas?"

Dengan amarah yang meledak Helena menjauhkan diri dari Arthur yang hanya bisa terpaku mencerna kata kata Helena.

Helena beranjak kembali ke ruang tamu dengan kesal. Saat mendengar langkah kaki Arthur yang mengikutinya dari belakang, Helena memutar badannya untuk menghadap Arthur.

"aku tak ingin anakku tumbuh dengan membawa cap negative itu di masyarakat dan merasakan apa yang kurasakan dan kualami selama ini." mata coklat gelap itu menatap lurus Arthur membuat Arthur merasa bersalah.

Helena menarik napas gemetar. "aku tak ingin dia memiliki pikiran, kalau dia tidak di inginkan, Kalau dia ada didunia ini hanyalah karna kecelakaan biologis."

Arthur meremas remas jemarinya, kepalanya tertunduk menghindari tatapan Helena.

"Kau yang hidup ditengah keutuhan keluarga tidak akan mengerti bagaimana berpengaruhnya sebuah status yang melekat bahkan sebelum kau lahir."

Helena bisa melihat dirinya saat kecil selalu membawa beban tak kasat mata yang dinamakan 'anak haram'. Pengucilan, penghinaan dan penindasan sudah dilaluinya hingga menjadi gadis tegar seperti sekarang.

"aku serius, artie."

"ya, aku tahu."

"Aku tak ingin bayiku mengalami hal itu." Terdengar nada putus asa dalam suara Helena. Arthur melintasi ruangan dan menggenggam tangan Helena.

"itu tak akan pernah terjadi." Arthur membawa Helena kesofa dan mendudukkan wanita itu disampingnya.

"istirahatlah, kau kelihatan begitu lelah."

Sekarang setelah kebenaran sudah terungkap. Helena menurunkan tembok pertahanannya, ia menyandarkan kepalanya ke punggung sofa sembari menarik nafas dalam dalam yang tidak mencukupi kapasitas paru parunya dan menghembuskannya perlahan, membuang semua emosi yang diarasakannya.

Helena memerintahkan dirinya sendiri untuk rileks walaupun pembicaraan mereka belum selesai dan memiliki kesepakatan yang jelas.

Helena mulai mengantuk, matanya terasa berat. Dia sudah kekurangan tidur akhir akhir ini karna kehamilannya yang membuatnya selalu tidur dalam gelisah ditambah emosinya yang meledak ledak membuat tubuhnya terlalu letih untuk bergerak.

Arthur mengamati pundak Helena yang menjadi rileks dan tarikan napasnya yang mulai teratur. Kepala Helena mulai terkatung katung dalam tidurnya. Arthur benar benar tidak menyangka kalau Helena adalah
anak haram.

Arthur hanya mengira kedua orang tua helena sudah meninggal dan neneknya lah yang membesarkannya. Kini setelah neneknya meninggal dunia Helena menjadi sebatang kara.

Arthur sama sekali tidak ada maksud untuk menyakiti Helena ataupun bayinya- bayi mereka.

Dia hanya belum siap diikat oleh tali tipis kesakralan itu. Pernikahan dibangun dan didasari cinta bukan rasa bersalah ataupun keterpaksaan.

Arthur mengusap wajahnya dengan gusar saat Kepala Helena dengan sendirinya bersandar di bahu Arthur yang ikut merosot di punggung sofa.

Helena tertidur begitu pulas, mulutnya terbuka. Arthur mengambil bantal sofa dan menyampirkannya di atas pahanya. Dengan hati hati Arthur membawa kepala Helena untuk bersandar dibantal. Arthur berusaha memindahkan kedua kaki Helena keatas sofa, tangannya menggapai jasnya yang berada didekat kaki Helena.

Dibentangkannya jas ketubuh Helena untuk menghalangi udara malam yang mulai dingin. Kemeja tipis Helena sama sekali tidak berfungsi untuk melindungi tubuhnya. Rambut panjang Helena bertebaran di paha Arthur.

Punggung jemari Arthur bermain di pipi Helena yang mulai tirus karna kekurangan asupan gizi. Morning sickness yang dialami Helena membuatnya kehilangan begitu banyak berat badan. Lingkaran hitam dibawah matanya tampak jelas.

Kulitnyapun tampak begitu kusam, tidak secerah dulu. Arthur mengetuk hidung mancung Helena yang tampak angkuh, begitu juga alis hitam tebalnya membuat sosok Helena begitu sombong dan arogan.

Arthur mengambil smartphone yang berada disaku kemejanya, ada beberapa urusan yang harus diselesaikan mengenai pernikahan ini yang pastinya tidak akan bisa ditolak Helena. Arthurpun memencet tombol panggilan.

***
Helena terbangun dengan detak jantung yang berdetak tak Karuan saat dirinya tersadar kalau warna hijau dengan warna keperakan yang tampak bias melingkar di retina mata Arthur menatapnya yang tertidur lelap di atas paha Arthur.

Bisa bisanya Ia tertidur dalam dekapan Artie. Helena dengan cepat berdiri dari posisi tidur dan berusaha menjauhkan tubuhnya yang memanas dari tubuh Arthur.

"Apa?" tanya Helena yang merasa risih dengan tatapan Arthur.

Tanpa sadar Helena merapikan rambutnya yang tergantung berserakan didepan wajahnya. Jari jari panjang Arthur naik menyampirkan anak rambut Helena yang berserakan ke telinganya.

"Tak menyangka bisa melihat Miss Elegant menjadi Miss.."

Arthur awalnya tampak berpikir kemudian Helena menaikkan sebelah alisnya saat melihat ujung bibir Arthur naik menunjukkan sebuah senyuman mengejek padanya.

"Nuts."

Arthur menahan tawanya saat melihat tatapan mematikan yang diberikan Helena. Helena bangun dari sofa dan melangkah kesal ke dapur.

Kaki jenjang Helena yang hanya dibungkus celana pendek memperlihatkan kulit mulus paha dan betis kecilnya yang berwarna cokelat keemasan. pandangan Arthur kemudian jatuh kearah lekukan bokong Helena membuat kerongkongan Arthur tiba tiba terasa kering.

Bola matanya berputar ke arah lain. Berusaha mencegah dirinya menatap lama kearah dua gundukan yang sedang bergoyang setiap Helena melangkah.

Arthur membuka kancing kedua kemejanya berusaha mendinginkan badannya yang mendadak merasa panas. punggung tangannya mulai berkeringat ketika kulit tangannya bisa mengingat dengan jelas kekenyalan bokong Helena saat Ia meremasnya.

Walaupun malam itu Arthur dalam keadaan mabuk tapi dia sangat sadar saat melakukan persetubuhan dengan Belena. Sadar akan kenikmatan yang mereka teguk malam itu.

'Ah.. itu sangat nikmat! lebih dalam Artie.'

"Artie?"

Arthur tersentak keluar dari lamunannya saat erangan Helena malam itu berbaur dengan panggilan Helena yang sekarang memandang bingung padanya.

Kosentrasi! Teriak Arthur pada dirinya sendiri.

"Jadi bagaimana dengan yang kuajukan? kau belum memberikan jawabanmu?"

Helena berdiri didepannya dengan kedua tangan berlipat didepan dada. Ekspresi cemas terlihat diwajahnya. Arthur menghela nafas.

"Aku akan menikahimu dengan satu syarat."

"Syarat?"

"Ya. Kau harus menandatangani perjanjian pranikah yang kuajukan."

"Untuk apa?"

"Untukku, untukmu dan untuk masa depan bayi kita."

Ada perasaan aneh yang muncul pada saat kata kepemilikan 'kita' digunakan pada jambang bayi mereka.

"Pernikahan ini hanya untuk status. Namamu tetap akan ada di aktenya sebagai ayah. Tapi pernikahan akan selesai saat bayi ini lahir." Tegas Helena.

"Setuju. Tapi ada beberapa hal yang ingin kuperjelas."

"Apa?"

"Aku yang akan menanggung seluruh biaya yang berhubungan dengannya." Arthur menunjuk kearah perut
Helena yang tertutup kemeja longgar.

"Dan juga dirimu baik saat kau menjadi istriku atau mantan istriku. Semua kebutuhan kalian berdua adalah tanggung jawabku saat kita menikah nanti."

"Aku bisa membiayai diriku sendiri dan bayi ini. terimakasih." jawab Helena menolak.

"Aku memaksa. Kalau kau tidak setuju kita bisa menghentikan pembicaraan kita mengenai pernikahan ini." ancam Arthur sambil menaikkan sebelah kakinya keatas kakinya yang lain. Berlagak angkuh didepan Helena yang masih berdiri didepannya dengan jengkel.

"Usaha yang kudirikan sudah berjalan sangat baik sekarang..."

"Aku tidak peduli dengan usahamu. aku hanya peduli akan bayiku. Anakku hanya boleh makan dari hasil kerja kerasku." potong Arthur dengan nada berat.

Helena tidak bisa berkata apa apa lagi. Dia hanya bisa menatap marah pada Arthur yang masih berlagak santai dengan kedua tangan terbentang di punggung sofa.

"Kedua kau tidak boleh melarangku untuk bertemu dengannya saat kita sudah bercerai dan ketiga aku ingin kau pindah kerumahku."

Cukup lama Helena terdiam sebelum kata kata Arthur dapat tercerna otaknya sepenuhnya.

"Aku tidak akan! tidak akan pernah mensetujui persyaratan yang ketiga!" Geram Helena.

"Harus. Apa kata mereka kalau seorang istri tinggal jauh dari suami yang baru dinikahinya dan ini bukan hanya berdampak pada kita tapi juga si bayi." desis Arthur.

"Pikirkan. Mungkin kali ini bukan kata anak haram yang keluar dari bibir mereka tapi bisa jadi lebih parah lagi. Hasil selingkuh? pembawa aib? atau hal buruk lainnya."

Helena hendak membantah tapi semua ucapan Arthur sangat benar. Spa yang Ia coba perjuangkan untuk bayinya akan menjadi sia sia apabila yang dikatakan Arthur terjadi.

"Aku bisa melihat jalan pikiranmu." Kata Helena pelan.

"Maaf?"

"Kau mengajukan semua syarat yang kauanggap takkan ku terima dan kau bisa terlepas dari beban sehingga semua ini akan menjadi salahku bukan salahmu kalau kita tidak jadi menikah."

Arthur tertawa geli mendengar kata kata Helena yang penuh kemunafikan.

"omong kosong. Aku tidak peduli kau mau menuduhku seperti apa." Arthur bangkit dari sofa dan berdiri menjulang didepan Helena yang mendadak getir saat tubuh tegap Arthur hanya berjarak beberapa senti darinya.

"Pilihanmu, Helena. Terima atau tinggalkan."

Helena menyipitkan mata dan menatap wajah Arthur yang keras. Ia hendak memberitahu pria yang berdiri didepannya ini bahwa Ia tak mungkin menerima syarat konyol itu. Kecuali syarat itu hanya berlaku hingga surat perceraian ditanda tangani.

"Well?" kata Arthur. "apa jawabanmu."

"Persyaratan akan ikut berakhir saat kita bercerai." Tegas Helena.

"Tidak untuk syarat pertama. Syarat itu akan terus berlaku."

Helena terdiam. Pikirannya sibuk menimbang nimbang tuntutan Arthur.

"Baiklah. Aku setuju."

"Bagus. aku akan menjemputmu besok setelah semua berkas berkas pernikahan ini selesai."
_________________________

Tidak ada komentar: