Rabu, 07 Mei 2014

Sang Nouveau (chap 12)


Diego merasa heran melihat tuan mudanya begitu bersemangat berangkat kesekolah. Seringaian terus terpasang di wajahnya dari kemarin.

"Apakah ada hal baik yang terjadi tuan muda?"

"Hmm."

"Anda terlihat begitu senang."

Diego menatap pantulan diri Taylor yang menatap kejalan masih dengan senyuman diwajahnya dari kaca spion.

"Bukan sesuatu yang spesial sebenarnya. Hanya seekor kucing betina yang masih keras menampakkan cakarnya yang tumpul."

Taylor terkekeh geli. Sedangkan Diego hanya mengeryitkan alisnya tak mengerti dengan ucapan kiasan yang diucapkan situan muda.

"Walaupun saya tak mengerti maksud tuan muda. Tapi saya turut bahagia dengan kebahagiaan Anda."

Diego tak tahu kalau penolakan Tatianalah yang membuat Taylor begitu senang. dia benar benar tak sabar bertemu dengan guru barunya di kelas.

Menggoda wajah cantiknya yang angkuh, menggoda tubuh moleknya yang berkeras menolak bersentuhan dengan tubuh Taylor. Mencium habis habisan bibir penuhnya bagai tak ada hari esok, Menggigit seluruh kulit mulusnya dan membuatnya mengerang puas.

 
Shit! Aku mengeras hanya dengan memikirkannya.

Taylor berusaha keras menahan ereksinya membesar. Memikirkan sesuatu yang jauh dari Tatiana. Taylor harus mengumpulkan segenap kekuatannya untuk menggoda Tatiana. Kalau dia mengeras duluan, dia tak akan pernah berhasil mendapatkan Tatiana.

***
Seringaian puas Taylor hanya bertahan sebentar saat dia berada di gudang belakang sekolah bersama anak laki laki yang wajahnya babak belur akibat perbuatan Taylor kemarin. Mereka berdua hanya terdiam menatap gudang tua itu.

"Detensi kalian dimulai dari hari ini. Kalian harus mengeluarkan seluruh meja dan kursi yang ada dan membersihkan seluruh gudang."

Mrs. Bertha, masih dengan lipstik merah tebalnya memberikan instruksi kepada Taylor dan anak laki laki disebelahnya.

"Tapi ma'am, saya harus masuk kekelas hari ini." Suara Taylor meninggi menatap tajam wajah Mrs. Bertha yang acuh.

"Ini konsekuensi." Jawabnya dengan sorotan mata dingin.

"Saya kelas dua belas ma'am. Saya tidak ingin ketinggalan pelajaran."

"Seharusnya kau berpikir seperti itu saat memulai perkelahian." Jawaban acuhnya membuat Taylor menggeram. Amarah mulai memuncak dikepala Taylor saat mendapat tatapan menghina dari Mrs. Bertha.

"Tak bisakah kami mengerjakannya saat pulang sekolah." Anak laki laki disebelah Taylor mulai berbicara, Taylor menatapnya yang kini maju menghadang Taylor yang bersiap siap melawan gurunya dengan kekerasan.

"Tidak. Kalian harus mengerjakannya dari sekarang. Ini perintah langsung dari kepala sekolah." Mrs. Bertha berhenti untuk mengambil nafas sambil menatap Taylor. "Nyonya Mandy." Lanjutnya dengan suara bangga.
Taylor benar benar tidak bisa menahan amarahnya lagi melihat antek antek nenek tirinya yang berkeliaran disekolah. Tubuh anak laki laki yang tak kalah besar dari Taylor terus menghadangnya.

"Baiklah ma'am kami akan mengerjakannya."

Taylor tidak sempat melakukan perlawanan saat anak laki laki itu menarik lengannya masuk kedalam gudang.

Taylor menepis cengkeraman sesampainya mereka di gudang. Taylor mulai menggeram kearah anak laki laki tersebut yang mulai melangkah mundur menjaga jarak.

"Easy boy. Aku hanya menyelamatkanmu dari detensi yang lebih parah." Jawabnya santai.

"Melawan seorang guru bukanlah tindakan yang benar jika kau ingin tetap berkeras masuk kekelas. Walaupun aku sedikit tak menyangka seorang tuan muda besar yang seenaknya sepertimu peduli akan nilai."

Taylor hanya diam saja menatap gudang tua yang dipenuhi kursi dan meja yang rusak. Gudang gelap itu berbau apek membuat paru paru Taylor merasa mengecil saat mencoba menghirup udara. Anak laki laki itu menyodorkan tangannya melihat sikap permusuhan dari Taylor.

"Walaupun aku tak tahu apa kesalahanku sehingga kau memukulku. Aku minta maaf. Aku tak ingin memiliki masalah dengan keluar Dawson." Taylor mengamatinya, sedikit merasa bersalah Taylorpun menggenggam tangannya.

"Akulah yang seharusnya minta maaf memukulmu tanpa alasan yang jelas."

"Seharusnya memang kau meminta maaf. Argh!" Taylor menggenggam kuat tangannya.

"Jangan mengujiku." Taylor menyeringai melihat anak laki laki didepannya menggelinjang kesakitan.

"Okey. Okey, aku tahu aku salah." Pekiknya sambil mengipas ngipas tangannya yang sakit.

"Siapa namamu?" Tanya Taylor mulai berkacak pinggang.

"Mack Vroes. Anak beasiswa." Jawabnya sembari melipat lengan kemejanya.

"Tidakkah kau terlalu bersikap berlebihan kepada anak pemilik sekolah yang memberikan beasiswa padamu sehingga kau bisa menginjakkan kaki di Dawson High School, sekolah paling bergengsi di Inggris?" Mata emas Taylor menyipit menatap Mack yang mulai menyibukkan dirinya mengangkat meja usang keluar.

"Well, Aku mendapatkannya karna prestasiku dan bukan mengemis kepada pemilik sekolah."
Kedua alis Mack yang berwarna coklat muda tebal terangkat membuat dahinya berkerut menatap Taylor yang tertawa cekikikan.

"Senang berkenalan denganmu, Mack. Karna kita sudah berteman, aku ingin kau membantuku." Mack hanya mendengus mendengar nada perintah dari suara Taylor. Dia begitu disibukkan dengan barang barang rongsokan si tuan muda hanya berdiri di tengah tengah gudang, melihat ke kanan dan kekiri seperti seorang CEO yang sedang menyurvei lokasi.

"Yang benar saja. Sedetik yang lalu kau memelintir tanganku, sedetik kemudian kau meminta bantuanku? Dan pertama, bisakah kau membantu kita berdua dengan mengangkat barang barang rongsokan ini keluar daripada kau berlagak seperti seorang bos."

Mack memutar matanya saat melihat Taylor membalas tatapannya. Kedua lengannya menyilang didepan dada.

"Membersihkan ini hanya urusan kecil bagiku." Taylor mengambil telepon genggamnya dari saku kemeja.

"Diego, kebelakang sekolah sekarang."

Klik, Taylor langsung menutup panggilannya. Seringain menghina semakin tercetak jelas diwajahnya saat Diego muncul dalam hitungan beberapa menit.

"Ya.... tuan... muda?" Nafasnya tersengal sengal membuat kata kata Diego terputus putus.

"Bantu si kecil Mack ini mengeluarkan rongsokan dari gudang."

"Siap, tuan muda." Diego langsung mengangkat dua meja dan membawanya keluar. Salah satu alis Taylor naik menatap Mack yang hanya bisa melongo.

"Baiklah, ayo kita lihat apa yang kau inginkan." Mack melempar kursi keluar dan berjalan menghampiri Taylor.

"Aku ingin kau tetap di sini dan lakukan apa yang perlu kau lakukan. saat si bibir tebal itu datang untuk melihat kerja kita, sembunyikan Diego dan katakan aku ke kamar kecil. Mudahkan?"

"Kau mau kemana?"

"Tentu saja kekelas. aku membutuhkan nilai."

Taylor melewati Mack dengan gaya santai awalnya setelah agak jauh dari gudang Taylor berlari melewati beberapa lorong menuju kelasnya.

Taylor langsung masuk seperti orang kesetanan membuat teman temannya yang sedang sibuk bermain terlonjak kaget.

"Kau melewatkan acara besarnya dude!" teriak Josh yang sedang duduk di meja guru.

"Darimana saja kau?" tanya Alan dengan nada suaranya yang datar.

"Dimana Tatiana, ah.. maksudku guru baru itu?" tanyanya pada Alan yang duduk tenang di kursinya.

"Dia sudah kabur, lari terbirit birit saat kami menyiramnya dengan air. cih.." jawab Viona dengan angkuh mendekat kearah Taylor.

"Tapi kau sempat takut saat dia menyirammu dengan pistol air Josh." balas Alan.

"Seriously dude, dia lumayan keras untuk wanita cantik seukurannya." Timpal Josh yang ikut menghampiri Taylor.

"Euh.. aku tidak pernah takut dengan wanita tua itu. never."lengan Viona kini bergelayutan dilengan Taylor.

"Kalian mengerjainya?" tanya Taylor.

"Seperti yang kau inginkan." jawab Alan masih menyipit curiga.

****

Tatiana mencabut setiap rumput yang ada di halaman belakang sekolah, mencoba melampiaskan kemarahannya tanpa menyakiti siapapun.

"Kalau ini pistol sungguhan, kupastikan kepalamu sudah berlubang sekarang." Kata kata itu meluncur keluar dari bibirnya setelah dia menyiram kepala Viona si sunshine Barbie dengan pistol air yang dirampasnya dari tangan Josh.

Tatiana sekarang frustrasi dengan kalimat ancaman yang diucapkannya. bukan hanya Viona yang mendengar kata katanya tapi satu kelas, dua puluh sembilan siswa.

"Dasar bodoh. Mana pengendalian dirimu."

Tatiana memaki dirinya sendiri, seharusnya dia lebih sabar dan tidak menggubris sama sekali tingkah mereka yang kekanak kanakan.

Lingkaran hitam di mata Tatiana kini semakin jelas, rasa frustrasi semakin menumpuk di kepalanya dari masalah sekolah, masalah keungan dan masalah tekanan seksualnya.

Sudah hampir sebulan dia belum ada melakukan 'olahraga pelepas stres' dan itu membuat emosinya menjadi tidak stabil.

Ditambah kedekatannya dengan Taylor. Seperti yang terjadi kemarin, dia hampir saja melangkah melewati batas keras yang dibuatnya dan menuruti hormon seksualnya yang meminta pelepasan.

Gairahnya langsung tersulut hanya mencium aroma tubuh Taylor. Dia sungguh sungguh tidak sanggup lagi bertahan melawan hasratnya yang begitu ingin jatuh kedalam pelukan Taylor.

Sungguh beruntung hari ini dia tidak bertemu dengan Taylor, kalau mereka bertemu Tatiana yakin dia tidak akan sanggup menolak tawaran bibir tipis Taylor yang begitu ahli menciumnya.

Tatiana berdiri, air menitik dari roknya yang sebatas lutut. Tatiana kemudian membuang nafas. Dia harus kuat, cobaan ini pasti bisa dilewatinya. Dia hanya perlu menjadi acuh sehingga tidak dipermainkan oleh murid ingusannya.

***
Dua hari berlalu begitu saja tanpa bisa bertatap muka dengan Tatiana dan dia malah menghabiskan waktu didalam gudang yang apek ini. Taylor mengamuk, menghempaskan seluruh barang rongsokan yang ada didalam gudang.

Dia selalu selangkah dibelakang. Saat dia sampai kekelas Tatiana sudah menghilang. Dia tidak bisa berkeliaran keseluruh sekolah karna detensinya yang belum selesai.

Terasa aneh apabila dia menanyai keberadaan Tatiana, merasa peduli kepada teman temannya yang begitu senang menerima perintah untuk mengerjai Tatiana. sungguh riskan.

Yang hanya bisa dilakukannya sekarang hanya mengamuk seperti orang gila. Mack dan Diego menunggu didepan pintu gudang mengamatinya.

"Kini sekolah memiliki persediaan kayu bakar."

"Hush. jangan mengganggunya Mack." Diego menyenggol bahu Mack yang memutar matanya melihat sikap takut si tubuh kekar Diego pada anak ingusan didepan mereka yang mengamuk.

"Oi! tuan muda! kau tahu kami menghabiskan waktu seharian membersihkan gudang ini tapi kau dalam hitungan menit memporakporandakan lagi seperti keadaan awalnya!" Mack maju menepis hadangan Diego. Mack berusaha tidak takut dengan geraman Taylor. Pupil mata emasnya tampak menyempit seperti orang kesetanan. Dalam sekali langkah Taylor langsung menerjang Mack.

Diego hanya terbelalak melihat Mack membalas terjangan Taylor dan memberikan pukulan telak di perut Taylor. Taylor menyeringai melihat nyali lawannya dan mulai melemparkan pukulan ke dagu Mack.

***

"Ya, ampun. Kau cukup menyusul kerumahnya saja."

"Ini bukan tentangku tapi temanku, Josh."

"Ya.. ya. katakan pada Josh kalau dia tak bisa menemukan ceweknya itu disekolah cukup hampiri dia dirumah."

"Tapi dia tidak tahu alamat rumahnya."

Diego hanya bisa bertopang dagu melihat tuan mudanya duduk bersila di lantai dengan kemeja koyak dan wajah luka menerima nasihat dari Mack dengan keadaan yang hampir sama.

"Kau kan punya banyak uang. Cukup sewa detektif atau kau bisa menyelinap keruang data siswa dan melihat profilnya."

"Kau benar. Kenapa aku tak bisa berpikir sejauh itu?" Taylor melihat Mack dengan tatapan kagum.

"Itu karna kau jarang menggunakan otakmu." bisik Mack.

"Kau benar. Aku akan ke ruang data sekarang!" Taylor langsung bangkit dan berlari menuju bagian belakang sekolah.

"Aku rasa perempuan yang di incar tuanmu benar benar dalam masalah."

Mack ikut bangkit sembari menepuk nepuk celananya dari debu sedangkan Diego hanya menarik napas, tahu pasti wanita yang dikejar kejar tuannya.

***
Taylor benar benar tak sadar saat sosok itu mengikutinya menuju ruang data, mendengar semua pembicaraannya dengan Mack.

Dia sungguh penasaran dengan perempuan yang dibicarakan mereka. Dilihat dari gerak gerik Taylor yang terasa aneh belakangan ini, alasan karna perempuan sangatlah masuk akal.

Taylor keluar setelah berhasil mendapatkan apa yang dia mau. Meninggalkan map berwarna merah diatas meja. Sosok itu masuk setelah yakin ruangan itu sepi. Dia terkejut saat mendapati profil sipemilik map.

"Tatiana Wald? si guru baru?" Dia mencoba menghubungkan semua kejanggalan yang dirasakannya terhadap tingkah Taylor dimulai saat kedatangan Tatiana.

"Ah... pantas saja." dia terkikik geli mendapati informasi berharga yang selama ini ditunggu tunggunya. Informasi yang akan menghancurkan Taylor Dawson, si ingusan angkuh.

"Tapi aku harus memastikannya terlebih dahulu. Apakah ini perempuan miliknya atau hanya wanita biasa."
Dia mengambil telepon genggam dari saku celananya. Jari jarinya lincah mengetik pesan masih terkikik puas.

Hancurkan Tatiana, si guru baru.
Malam ini
-T.D-

***
Tatiana terbangun saat air dingin menampar wajahnya. Matanya beberapa kali mengerjap berusaha menyesuaikan pengelihatannya dengan intesitas cahaya lampu yang berada didepan kepalanya.

"Sudah sadar tuan putri?" mata Tatiana menyipit menatap siapa yang berbicara padanya. dia mencoba menggerakkan tangannya tapi tangannya terikat kebelakang kursi. Tatiana berusaha melepaskan diri dari tali tambang yang mengikat tubuhnya kuat.

"Aku tidak memiliki barang berharga yang kalian butuhkan. Lepaskan aku!" hardik Tatiana menggerak gerakan tubuhnya untuk melonggarkan ikatan.

"Kami tidak butuh uangmu, ma'am. kami hanya ingin bersenang senang denganmu atau lebih tepatnya tubuhmu." balasnya entah kenapa suara itu terdengar familiar ditelinga Tatiana.

Tatian terkesiap saat depan kemejanya dirobek hingga dada. Tatiana makin terkejut saat mendapati laki laki didepannya adalah Josh dan dua orang muridnya yang berada di kelas dua belas.

"Aku bisa melaporkan hal ini kepada kepala sekolah dan memintanya mengeluarkan kalian dari sekolah."
Tangan Josh mendarat dipipi Tatiana. "Yang berhak mengancam hanyalah kami. Jadi tutup mulut jalangmu itu." desis Josh, dua orang murid lainnya tertawa keras menikmati pertunjukan kekerasan yang dipamerkan Josh.

"Kami sudah lama tidak mendapat perintah seperti ini. mengerjai anak domba hingga ke sumsumnya. kau tahu anak domba terakhir yang duduk di kursi kehormatan ini berakhir dengan menggantung dirinya sendiri didalam apartemennya. aku tak sabar menanti kabar terakhirmu, ma'am."

Tatiana merasa mual dengan ucapan yang di ucapkan Josh dengan nada yang dibuat buat dan diakhiri tawa yang membahana.

"Aku ingin sekali memakai obat ini." Josh memegang tabung kecil yang berisi beberapa pil berwarna merah jambu. "setelah kau meminum ini tubuhmu akan menggelinjang kepanasan, terbakar."

"Aku benar benar tidak sabar menyentuh tubuh moleknya."

"Aku yang pertama."

"Aku tidak ingin mendapat sisa."

Tatiana tak sanggup lagi mendengarkan pembicaraan mereka yang menjijikkan. Tatianapun mencoba berteriak tapi mereka bertiga malah tertawa semakin keras melihat usaha Tatiana.

"Tidak akan ada yang menolongmu. tempat ini sangat privat."

"Kumohon lepaskan aku. Aku berjanji tidak akan mengatakan apapun mengenai perbuatan kalian. kumohon lepaskan aku."

"Tidak usah takut. Kami disini untuk memuaskanmu." Tatiana terlonjak saat salah satu muridnya mencengkeram kedua payudara Tatiana.

"Lepaskan tangan kotormu dari tubuhku." Tatiana meludahi wajahnya.

"Brengsek!" dia mencengkeram leher Tatiana membuat Tatiana kesusahan bernapas.

"Hei, hei. jangan merusak barang komoditi." tegur Josh yang sibuk mengotak atik telepon genggamnya. "dia tidak akan suka mendapati barang yang kita bawakan lecet."

Tatiana kembali bernapas saat tangan itu menjauh. "kali ini kau selamat tapi tidak ditangan dia."

Dia? siapa? Tatiana begitu bingung mencoba mencerna semua informasi untuk melawan mereka. Tatiana mendapatkan satu tamparan keras saat dia membalas tatapannya tajam. Tatiana mulai merasakan kepalanya mulai linglung dan pendengarannya mulai berdengung.

"Ini aku, Josh. Guru itu sudah bersama kami sekarang... Si guru baru." Josh duduk tak jauh darinya, telepon genggam tersampir ditelinganya.

"Seperti yang kau minta. Kami membawanya ke basement club malamku yang tak jauh dari sekolah. Apa? tunggu dulu, apa maksudmu kau tak memintanya?" Kening Josh berkerut.

" c'mon dude jangan bercanda... Aku juga serius bukankah kau yang mengirim pesan padaku untuk mengerjakan tugas malam ini?"

"Kami tidak mungkin melepaskannya. Aku tidak mengerti omong kosong apa yang kau katakan tapi aku tidak bisa melepaskannya begitu saja, aku.. dude? bro?" Josh mengamati layar telepon genggamnya yang sudah mati.

"Ada apa?" tanya salah satu muridnya yang tampak tidak sabaran.

"Dia mengatakan kalau dia tidak pernah memerintahkanku untuk melakukan ini?"

"Ada apa sih dengannya? Kita tidak mungkin berhenti sekarang."

"Kita lanjutkan saja toh dia juga tidak akan muncul."

"Entahlah. Dia terdengar kalap saat aku memberitahunya kalau kita menyekap guru baru ini."

"Bukannya dia yang menyuruh kita semua mengerjainya? kenapa sekarang berubah pikiran?"

"Aku juga tidak tahu! jangan mencecarku."

"Maaf. Aku hanya tidak bisa menunggu, tanganku sudah gatal."

"Terserah. Lakukan apa yang kalian suka."

"Kau tidak ikut?"

"Tidak. Aku merasakan sesuatu yang buruk akan terjadi." jawab Josh mengambil sebatang rokok dan mulai menghisapnya.

"Well, kau akan rugi. Kami tidak akan menyisakan apa apa untukmu." Josh hanya mengibaskan tangannya menyuruh mereka melanjutkan.

***
Taylor membanting stir ketika menikuk kejalanan kecil. Menginjak gas hingga kedasar tak peduli mobil mobil yang mengklakson dan meneriakinya.

Pikirannya sekarang dipenuhi si idiot Josh dan anak buahnya yang berani beraninya menyekap Tatiana dan menuduh dirinya sebagai dalang rencana tersebut.

"Kalau berani mereka menyentuhnya, aku akan membunuh mereka semua hari ini juga." desis Taylor. Suara decitan rem terdengar saat Taylor berbelok kekanan meninggalkan bekas ban di aspal.

Diego yang tak berada jauh dibelakang Taylor menelepon Mr. Harold mengenai kejadian yang dialami Tatiana.

Mr. Harold yang masih dalam perjalanan bisnisnya meminta Diego tetap berada di samping Taylor. Memintanya melerai Taylor berbuat gila dan fokus menyelamatkan Tatiana.

Mr. Harold mengatakan akan bergegas pulang dengan pesawat pribadi keluarga Dawson. Diego tidak yakin apakah dia bisa melerai keberingasan tuan mudanya.

Mobil Taylor berhenti tepat didepan salah satu club malam Kingsley yang sangat tersohor di Inggris. Taylor tanpa mematikan mobil langsung turun dan berlari masuk kedalam menuju basement.

Taylor menabrak beberapa orang yang mabuk, membuat keadaan di dalam club malam menjadi sedikit ricuh. Sesampainya di pintu kayu yang berada paling sudut di basement, Taylor kenal betul tempat ini.
Taylor masuk mendapati pemandangan yang tak diinginkannya terjadi. tubuh Tatiana terbaring dilantai dengan tangan terikat ke atas. Kemeja dan branya robek memperlihatkan sepasang payudaranya yang sedang dicengkeram oleh tangan kotor teman sekelasnya yang namanya bahkan Taylor tak ingat.
Air mata membasahi wajah Tatiana. tangannya yang terikat bergerak gerak berusaha melepaskan diri. Begitu juga tubuhnya berusaha melepaskan cengkeraman anak muridnya.

Taylor menarik kerah laki laki itu melemparkannya kebelakang. Josh dan temannya yang lain terkejut dengan amukan Taylor. Taylor meninju wajah laki laki itu dengan membabi buta.

"Taylor! apa yang kau lakukan!" Josh berteriak, mereka berdua mendekati Taylor berusaha menyelamatkan temannya.

Tapi Taylor langsung berputar dan memukul hidung Josh kemudian laki laki yang berada di sebelah Taylor. Josh mengaduh sembari memegang hidungnya yang mengeluarkan banyak darah.

Diego masuk ketika melihat tuannya mengambil sebongkah kayu dan menghantamkannya ketubuh mereka yang terkapar sembari menyeringai puas.

Salah satu teman Josh berusaha melarikan diri tapi Taylor langsung menghantamkan kayu kekepalanya dan dia jatuh pingsan. Tangan dan wajah Taylor dipenuhi percikan darah lawannya.

"Tuan muda." Diego menahan kedua tangan Taylor. Tubuh Taylor yang awalnya mengerang karna amarah kini mulai tenang.

Pupil mata emas nya mulai membesar. tersadar dengan kondisi Tatiana yang masih terikat. Taylor melempar balok kayu dan mendorong tubuh Diego menjauh.

"Bereskan." perintahnya seraya menghampiri Tatiana yang menutup kedua matanya menolak memandang Taylor.

Dengan lembut Taylor menyampaikan jaket kulitnya menutupi tubuh bagian depan Tatiana yang gemetaran.
Taylor melepaskan ikatan tangan Tatiana dan mendaratkan ciuman pada tanda merah yang tertinggal di pergelangan tangannya.

Jari jari Taylor merapikan anak rambut Tatiana yang berserakan dan mengelus pelipisnya.

"Aku disini. aku tidak akan menyakitimu."

Kata kata Taylor membuat kelopak mata Tatiana perlahan membuka. mata Tatiana mulai berair melihat kekhawatiran di wajah Taylor.

"A.. aku ta.. takut." bibir Tatiana yang bergetar membuat ulu hati Taylor terasa perih. Taylor mengangkat tubuh Tatiana dan memeluknya erat.

"Semua akan baik baik saja. Aku berjanji akan selalu menjagamu dan tak akan membiarkan hal ini terjadi lagi."

Lengan Tatiana memeluk erat leher Taylor, membutuhkan sentuhan manusia untuk meredakan gemetaran hebat yang melandanya. Taylor mendaratkan ciuman di relung antara leher dan bahu Tatiana sembari membawa Tatiana keluar menuju mobilnya.

Taylor tak sampai hati mendengar isakan dan merasakan ketakutan Tatiana. Dia berharap bisa memindahkan seluruh ketakutan Tatiana padanya meredakan tangisan yang memilukan hatinya.

Tidak ada komentar: