Kamis, 08 Mei 2014
Sang Nouveau (chap 13)
Tatiana menengadahkan kepalanya. Membiarkan air shower membasahi wajahnya. Menghilangkan bekas bekas air mata dan keringatnya.
Tatiana kembali menyabuni seluruh tubuh untuk yang kesekian kalinya, berusaha menghilangkan rasa tangan tangan kotor mereka yang berkeliaran ditubuhnya.
Dia hampir diperkosa, pikiran itu menakutinya. Tatiana memang bukan orang suci, dia memang sering melakukan hubungan sex dengan orang yang baru dikenalnya tapi bukan dengan pemaksaan seperti ini.
Perutnya kembali mual setiap bayangan mereka yang menggerayangi tubuhnya muncul lagi. Tatiana menunduk membiarkan air mendinginkan kepalanya. Menenangkan.
Knock, Knock.
Tatiana terkesiap saat mendengar suara pintu diketok. Pintu kamar mandi terbuka sedikit memperlihatkan celah kecil.
"Aku hanya ingin memberikan ini."
Lengan Taylor terulur masuk dari celah dengan sebuah keranjang diatasnya terdapat T-Shirt dan handuk.
"Aku letakkan disini."
Taylor menaruh keranjang itu didekat pintu dan kemudian menutupnya. Tatiana mematikan shower dan keluar menuju keranjang tersebut dengan keadaan telanjang.
Air menitik dari rambut panjangnya, membasahi lantai kamar mandi yang besar penuh dengan kemewahan. Setelah mengeringkan tubuhnya dengan handuk. Tatiana memakai T-Shirt longgar berwarna abu abu gelap milik Taylor.
Tatiana bisa mencium aroma wangi Taylor menyelubungi tubuhnya. Tatiana mendesah saat merasakan jantungnya mulai tidak bisa bekerja sama dengan pikirannya setiap Taylor muncul dibenaknya.
Tatiana sedikit merasa takut awalnya saat melihat amukan Taylor. Dia memukul dan memburu secara membabi buta tak sadar lagi siapa lawan ataupun kawan.
Tetapi kata kata yang diucapkannya saat menenangkan Tatiana sepanjang perjalanan kerumah Taylor atau lebih tepatnya istana untuk ukuran Tatiana, yang apartemennya hanya sebesar kamar mandi milik Taylor.
Kata kata yang lembut penuh kekhawatiran itu meluruhkan ketakutan Tatiana. Membuat Tatiana begitu membutuhkan Taylor untuk berada di sampingnya.
Egoiskah aku?
Tatiana yang selalu melarang dengan keras dirinya dan Taylor untuk saling berdekatan bahkan saling mengenal sekarang menginginkannya, membutuhkannya.
***
Troli makanan telah berada dikamar Taylor. Taylor dengan cepat membawakan kebutuhan Tatiana, ingin membuatnya nyaman dan aman.
Taylor membawa Tatiana kerumahnya karna rumahnyalah yang paling dekat dan pastinya memiliki fasilitas lengkap yang bisa membuat Tatiana nyaman.
Taylor yang mondar mandir menunggu Tatiana keluar dari kamar mandi kini hanya bisa tertegun.
Kerongkongannya serasa kering saat melihat penampilan Tatiana yang hanya di bungkus T-shirtnya dan dia tahu pasti didalam Tatiana tidak memakai apa apa.
Rambut panjangnya yang basah tergerai lemas. Kulit mulusnya terlihat bersinar dengan T-Shirt milik Taylor. Panjang T-Shirt yang hanya sampai setengah paha Tatiana mengekspos kaki jenjangnya.
Taylor membalikkan tubuhnya saat merasakan ereksinya yang mulai mengeras ketika teringat rasa akan kaki jenjang itu melingkar di pinggulnya saat dia memasuki tubuh Tatiana.
"A..a..ehem.. Aku menyiapkan makanan." Taylor berdeham berusaha menghilangkan serak disuaranya. Taylor berusaha sibuk dengan troli makanan sedangkan pikirannya mencoba memikirkan hal lain
Satu sapi, dua kaki.. sapi, tiga sapi..... lima belas kaki.. sapi!!!
"Bolehkah aku meminjam hairdryer?" Tanyanya menatap punggung Taylor yang agak membungkuk.
"Akan kuambilkan."
Taylor setengah berlari keluar dari kamar meninggalkan Tatiana yang hanya terperangah melihat sikap buru buru Taylor.
Tatiana melihat makanan yang disajikan diatas troli. Makanan itu tampak seperti makanan hotel bintang lima. Ditata begitu cantik sehingga sayang untuk dimakan.
Beberapa menit kemudian Taylor kembali dengan sikap yang lebih tenang. Tangannya memegang sebuah hairdryer berwarna merah bata.
"Duduklah. Akan lebih cepat kalau aku yang mengeringkannya." perintah Taylor. Tatiana tanpa sadar menurutinya duduk di kursi yang disediakan Taylor.
Taylor berdiri dibelakangnya, dengan gugup menyentuh ujung rambut Tatiana. Taylor yang tidak mengerti cara kerja hairdryer menekan tombol max. Tatiana terpekik saat kulit kepalanya terasa terbakar.
"Sudah, biar aku sendiri saja."
Tatiana menoleh kebelakang. Wajahnya kesal melihat tatapan keras Taylor yang mengangkat hairdryer tinggi tinggi jauh dari jangkauan Tatiana.
"Tidak. Aku yang akan mengerjakannya. Kau duduk saja yang manis." Taylor memegang bahu Tatiana dan memutar tubuhnya kedepan.
"Aku hanya bingung dengan tombol tombol ini." Taylor memutar mutar hairdryer seperti mencari sesuatu.
"Urg. Tombol yang ini."
Tatiana kembali menoleh kebelakang dan menunjuk tombol merah yang berada dekat dengan kelingking Taylor.
Taylor menekannya kemudian merasakan panas hairdryer dengan tangannya. Wajahnya sumeringah setelah mendapatkan panas yang pas dan kembali melanjutkan mengeringkan rambut Tatiana.
Tatiana menghela napas melihat kebodohan Taylor. Tubuhnya mulai relaks menikmati sentuhan lembut tangan Taylor dirambutnya.
Bahunya sedikit tegang saat tangan Taylor menyentuh belakang lehernya sekilas. Mengirim sesuatu yang menggelitik dari tempat yang disentuhnya hingga ke ujung kaki.
"Aku suka bau shampoku dirambutmu, my lady." Taylor berbisik sembari membawa ujung rambut Tatiana kewajahnya. mencium aroma rambut Tatiana.
Hawa panas gairah mulai menguar ditubuh mereka. Tersadar dengan apa yang dilakukannya Taylor berdeham dan kembali fokus menyelesaikan tugasnya.
Taylor berusaha menjaga sikap. Melakukan hubungan intim akan membuat Tatiana semakin tak nyaman apalagi setelah kejadian penyekapan itu.
Prioritas terpenting Taylor sekarang adalah membuat Tatiana nyaman dan melupakan kejadian itu.
Taylor mematikan mesin hairdryer, meletakkannya diatas meja dan mengambil sisir. Taylor menyisir rambut Tatiana dengan hati hati untuk tidak menyakitinya.
"Kau mau makan?" Tanyanya setelah selesai menyisir rambut Tatiana.
"Tidak. Aku ingin istirahat."
"Kau yakin? perutmu tidak lapar?"
"Aku sedang tidak berselera makan sekarang."
Kecuali memakan yang lain.
Tatiana menatap Taylor yang kebingungan mengartikan tatapannya. Taylor bergegas menyampirkan selimut tebal dari ranjangnya. Menepuk ringan bantal bantal besar yang berada dikepala ranjang.
Taylorpun menarik tangan Tatiana dan menyuruhnya untuk berbaring. Tatiana menurut membaringkan tubuhnya ditengah ranjang.
Bibir Taylor sumeringah saat menyelimuti tubuh Tatiana dengan selimut tebalnya. merasa senang dengan sikap gentleman yang ditunjukinya kepada Tatiana.
"Tidurlah."
Taylor menepuk nepuk ringan selimut, kemudian beranjak dari ranjang.
"Jangan pergi."
Tatiana menggenggam erat ujung keliman kemeja Taylor. Senyum sumeringah seketika menghilang digantikan raut wajah yang cemas.
Dia hanya takut sendiri dikamar besar ini. Bukan bermaksud mengajakmu bermasyuk masyuk. Menjauhlah pikiran kotor.
"Bolehkah aku berbaring disampingmu?" tanya Taylor lirih. Urat lehernya semakin tegang saat Tatiana mengiyakan.
Taylor berusaha bersikap tenang masuk kedalam selimut dan berbaring telentang disamping Tatiana.
Tapi Tatiana mendekatkan tubuhnya hingga menyentuh bahu Taylor, berusaha mencari kehangatan dari tubuh Taylor yang panas karna memikirkan hal hal yang tidak semestinya.
Taylor merasakan bahunya mulai basah dan melihat Tatiana menangis dalam diam. Taylor terperanjat, telapak tangannya menangkup pipi Tatiana.
"Hei, kenapa kau menangis?" Tatiana menutup matanya, menggeleng.
"Kau masih takut?" tanya Taylor sembari mengelus pelipis Tatiana. Matanya membuka menatap mata emas Taylor menunjukkan ketakutannya.
" it's okay. kau aman sekarang."
Taylor menyisir anak rambut Tatiana dengan tangannya kemudian mengelus pipi Tatiana dengan punggung jarinya.
Mata Taylor jatuh ke bibir bawah Tatiana yang berwarna merah karna baru digigitnya. Punggung jari Taylor tanpa sadar turun mengelus bibir bawah Tatiana.
Mata emasnya menatap intens ujung jarinya yang mengelus bibir Tatiana yang kenyal. Ujung jari itu dengan cepat digantikan bibirnya.
Mengecup sembari menggigit bibir bawahnya. Lagi, gelenyar listrik itu mengalir ditubuh mereka. Taylor kembali mengelus bibir atas Tatiana dengan lidahnya kemudian mengecupnya.
Jantung Tatiana kini membuncah saat bibir Taylor dengan lambat menciumnya.
Tatiana membalas, menggigit kecil bibir bawah Taylor. Kepala tatiana mulai terangkat dari ranjang untuk lebih leluasa mencium Taylor. Kedua tangannya naik menyentuh rambut Taylor. Menahan kepala Taylor untuk tetap mendekat.
Kedua tangan Taylor sendiri menangkup pipi Tatiana. Ibu jarinya mengelus bolak balik pipi Tatiana dengan bibir mereka masih saling terpaut.
Tubuh Taylor dengan alami bergerak naik ke atas tubuh Tatiana. Menikmati dada kerasnya menyentuh payudara lembut Tatiana.
Taylor merasa seperti mimpinya menjadi kenyataan saat kaki jenjang Tatiana melingkupi pinggangnya.
Oh, god!
Erang Taylor dalam hati, begitu menikmati sensasi yang diciptakan bibir Tatiana. Gigi Taylor begitu senang menggigit kecil bibir bawah Tatiana yang kenyal kemudian mengelusnya dengan lidah mencoba meredakan rasa sakit yang dibuatnya.
Jari jemari Tatiana menyisir rambut belakang Taylor keatas. Jarinya tak ingin berpisah dengan rambut cokelat terang Taylor yang sehalus sutra.
Lebih, aku butuh lebih.
Tatiana semakin aktif menempelkan tubuhnya ketubuh Taylor. Putingnya yang mengeras menggesek dada Taylor, membuat Taylor mengerang nikmat.
Kakinya semakin kuat melingkar pinggul Taylor. Membawa ereksi Taylor yang mengeras dibalik celananya ke inti Tatiana yang mulai basah.
Benak Taylor mulai berkabut dipenuhi gairah yang semakin memanas.
Aku tidak ingin berhenti.
Tidak! Kau harus berhenti! Kalau kau menyetubuhinya sekarang kau hanya akan dicap sebagai pria paling brengsek didunia!
Oh, please.. Aku tak sanggup berhenti.
Kau bisa. Lepaskan bibirnya sekarang!
Sebentar lagi..
Sekarang!
Menyesap bibir atas Tatiana untuk terakhir kalinya kemudian Taylor menarik bibirnya untuk menghentikan ciuman mereka.
Napas mereka menderu. Mata mereka yang penuh gairah saling menatap. Tangan Tatiana masih berada dirambut Taylor. Menggenggamnya.
"Tung..gu.. at.. atur.. napas.."
Taylor menyandarkan dahinya di dahi Tatiana. Berusaha menenangkan dirinya.
"Damn it. Seharusnya aku membuatmu nyaman, membuatmu melupakan kejadian mengerikan itu bukannya memanfaatkan keadaan dengan menciummu. Aku sungguh sungguh minta maaf, aku telah berbuat gila."
Tatiana bisa melihat permintaan maaf Taylor yang tulus. Mencemaskan perasaannya tapi yang seharusnya minta maaf adalah dia. Memanfaatkan keadaan ini untuk bisa tetap berada didekapan Taylor.
Tatiana menatap sedih raut wajah Taylor yang gusar. Penjelasannya begitu terburu buru berusaha menyakinkan Tatiana kalau dia khilaf, terdorong oleh hawa nafsunya.
Taylor tersentak saat Tatiana memeluk tubuh Taylor, membuat kata kata Taylor tenggelam kedasar tenggorokannya. Menatap bingung kepuncak kepala Tatiana yang berada didadanya.
"Biarkan aku beristirahat seperti ini."
Tatiana ingin menikmati mimpinya, mimpi mendekap Taylor sebelum kembali ke kenyataan bahwa mereka adalah guru dan murid.
Sedangkan Taylor dengan senang hati membawa Tatiana kembali ke tempat tidur. Menutupi tubuh mereka dengan selimut yang teronggok dikaki mereka.
Dagu Taylor berada diatas kepala Tatiana. Lengannya dengan erat memeluk Tubuh lembut Tatiana.
***
Taylor masih terjaga, menikmati bagaimana Tatiana perlahan lahan jatuh tertidur. Seringaian puas terpasang diwajahnya.
Dia begitu senang memikirkan Tatiana yang berada di kamarnya, tidur diatas ranjangnya dan berada dipelukan Taylor sepanjang hari.
Hari ini dia telah berusaha semampu mungkin bersikap sebagai seorang gentleman. Menunjukkan kepada Tatiana kalau dia adalah pria dewasa yang bisa menjaga dan melindunginya.
Telepon genggam Taylor bergetar didalam saku celananya. Dia merogoh sakunya dan melihat panggilan dari pamannya di layar.
Perlahan lahan Taylor menjauhkan tangan Tatiana dari tubuhnya. Bergerak sangat lambat keluar dari pelukan Tatiana.
Setelah berhasil turun dari ranjang. Taylor bergegas keluar dari kamarnya untuk menjawab panggilan pamannya.
"Ya?"
"Haruskah kau mematahkan tulang tulang mereka dan membuat mereka geger otak? Kau terlalu berlebihan!" teriak Mr. Harold di seberang sana.
"Tahukah paman apa yang mereka lakukan pada Tatiana?" balas Taylor lebih keras.
"Tahukah kau apa yang mereka katakan padaku? Mereka bilang Kaulah yang menyuruh mereka untuk menyekap Tatiana!"
"Bukan aku! aku bersumpah paman aku tidak pernah memberikan mereka perintah itu! Paman bisa tanyakan pada Diego, sepanjang hari aku berada di gudang belakang sekolah menjalankan detensiku. Paman juga bisa bertanya pada Mack, dia anak beasiswa yang kata katanya pasti lebih menyakinkan paman!"
"Aku tidak berbohong paman. Ada seseorang yang mengkambing hitamkan aku." jelas Taylor lagi saat tak mendengar jawaban ataupun bantahan dari pamannya.
Mr. Harold mendesah saat memikirkan kemungkinan keterlibatan ibunya dalam masalah ini.
Nenek tiri Taylor itu selalu mencari celah untuk menjatuhkan imej Taylor pada dewan direksi Dawson Corp. sehingga warisan yang diberikan kepada Taylor sebagai pemimpin perusahaan bisa diambil alih.
"Aku tak mungkin melakukan hal kejam seperti itu pada Tatiana." ujarnya lirih.
"Kau menyebut nama guru barumu dengan sangat akrab?"
"Eh..Benarkah? Hmm..Aku hanya menyebut namanya."
"Kenapa kau menolongnya? Biasanya kau tidak mau ambil pusing dengan kelakuan teman temanmu. Kau terlihat begitu peduli kali ini." pernyataan Mr. Harold sangat jelas membuat Taylor menjadi salah tingkah.
"Dia guruku. Wajarkan kalau aku peduli."
"Bukannya kau yang menyuruhku untuk memecatnya dihari pertama dia mengajar?"
"E..a..."
Taylor benar benar susah untuk menjelaskan kepada pamannya karna Tatiana pasti sangat marah kalau pamannya sampai tahu apa yang pernah terjadi pada mereka.
Taylor tahu Tatiana membutuhkan pekerjaan ini untuk membayar biaya kuliahnya. Data profil Tatiana menjelaskan banyak hal dan Taylor tidak ingin menjadi orang brengsek yang menghancurkan kerja kerasnya.
"Bisakah aku membalikkan peringatan yang dulu pernah kau katakan padaku?"
"Peringatan?"
"Ya. Dia bukanlah Marissa, Taylor." Kali ini giliran Taylor yang terdiam cukup lama.
"Tatiana bukanlah Marissa aku tahu pasti itu. Aku tidak pernah menyamakan mereka karena aku tidak pernah berbicara bahkan bertemu langsung dengan Marissa, paman." Mr. Harold bisa mendengar geraman disela sela kata Taylor.
"Pamanlah yang pernah melihat dan mengenalnya dengan baik sehingga paman jatuh cinta padanya."
"Taylor!"
"Kau selalu menyebutnya dalam tidur, paman. Aku tidak menyalahkanmu memiliki rasa padanya. Lukisan besar itu dengan jelas menggambarkan kecantikannya. Seperti diriku yang tampan ini." Taylor tertawa ringan membuat Mr. Harold ikut tersenyum.
"Bukan hanya wajahnya yang cantik tapi juga kepribadiannya yang cantik membuat semua orang tak bisa menolaknya." jawab Mr. Harold lirih.
"Oke cukup nostalgianya. Mengenai Josh dan kawan kawan aku yang akan mengurus. Paman hanya perlu mencari tahu siapa pelaku sebenarnya."
Taylor bisa mendengar helaan napas pamannya. "baiklah, berharap saja media tidak mengendus masalah ini."
"Mengenai hal itu paman tidak perlu cemas."
Taylor mengucapkan salam pada pamannya kemudian memutuskan panggilan. Kembali menuju kamarnya, ke tempat Tatiana berada.
***
Tatiana terbangun, matanya beberapa kali mengerjap. Merasa asing awalnya dengan suasana kamar yang ditempatinya tapi rasa hangat dari tubuh tegap yang memeluknya membuat Tatiana teringat dia berada dimana.
"Kau sudah bangun."
"Hmm." Tatiana mengangguk menatap mata emas Taylor yang tersenyum.
"Kau lapar?"
"Hu-uh." Tatiana menggelengkan kepalanya.
Taylor merapikan anak rambut Tatiana yang berserakan didahinya. Tatiana hampir terlena dengan perhatian dan kelembutan Taylor.
Tapi dia tidak bisa terus berada di alam mimpi, dia harus kembali menjalani kenyataan yang keras.
"Aku ingin pulang."
"Tidak bisakah kau berada disini lebih lama lagi?"
Tatiana bisa mendengar nada permohonan di sana. Dahi Taylor mengkerut dengan tatapan memelas.
"Aku harus pulang." Taylor memejamkan matanya merasakan sentuhan tangan Tatiana dipipinya.
"Baiklah aku akan mengantarmu."
"Diego saja cukup."
"Tidak. Aku yang harus mengantarmu." Taylor menatap kesal pada Tatiana. Tatiana hanya menghela napas sembari memutar matanya.
***
"Ini mengerikan. Apartemenmu bahkan tak lebih besar dari kamar mandiku." ejek Taylor saat mengantar Tatiana hingga kedalam apartemennya.
"Tidak perlu repot repot membandingkan apartemenku dengan istanamu." ketus Tatiana.
"Maaf. Aku tidak bermaksud menyinggungmu tapi faktanya seperti itu."
Tatiana meninggalkan Taylor ditengah apartemennya masuk kedalam kamar untuk menganti pakaian.
Taylor merasa miris melihat keadaan apartemen kecil Tatiana yang sudah reyot. Walaupun ditata rapi tetap saja apartemen ini sudah tidak layak huni.
"Aku akan mengembalikan pakaianmu nanti." kata Tatiana setelah keluar dari kamar.
"untukmu saja. Eh.. my lady Apakah kau keberatan kalau aku langsung pergi?" tanya Taylor gelisah. Tatiana hanya menaikkan kedua bahunya.
"Maafkan aku meninggalkanmu sendiri. Aku sebenarnya tidak ingin tapi aku harus mengurus para brengsek itu."
"Aku tidak apa apa Taylor. Kau tidak perlu cemas."
"Baiklah. Ini." Tangan Taylor terulur dengan sebuah telepon genggam ditangannya.
"Apa ini?"
"Handphone."
"Aku tahu. Yang kumaksud untuk apa kau memberikan ini padaku?"
"Dengan ini aku jadi mudah menghubungimu."
Tatiana berdecak. "ku kembalikan."
"Kenapa?"
"Aku hanya tidak mau menerima apapun darimu. Kau sudah cukup banyak membantuku dan aku sangat berterima kasih tapi tak perlu sampai memberikan ini."
Rasanya aneh anak sekolahan memberikan sebuah handphone kepada gurunya. Dimana mana yang lebih tualah yang memberikan hadiah mahal kepada yang lebih muda bukan sebaliknya.
"Aku tidak tahu harus menghubungimu kemana?"
"Kau tak perlu repot repot menghubungiku."
Taylor mendesah. "apa yang terjadi hari ini membuktikan kau memerlukannya, my lady. Kita tak akan pernah tahu kapan bahaya akan datang. Jadi jangan berargumen lagi kalau kau tidak mau aku akan membuang benda ini sekarang juga."
"Baiklah, Baiklah."
Tatiana merasa kalah dengan desakan dan perintah dari Taylor. Lagi, Tatiana merasa bodoh menurut saja apa yang dikatakan anak sekolahan didepannya.
"Bagus." Taylor menyerahkannya ke tangan Tatiana. "kalau begitu aku pergi."
"Hmm."
Taylor berdiri ragu ragu didepan Tatiana kemudian maju mendekat. Wajahnya menunduk mendekati wajah Tatiana.
Jantung Tatiana mulai berdegup tak beraturan saat bibir Taylor berjarak beberapa centi dari bibirnya. Tatiana pun memejamkan mata.
Alih alih mencium bibir Tatiana Taylor memilih mengecup lama pipi kiri Tatiana. Ingin menunjukkan padanya sikap seorang ksatria.
"Selamat malam." Taylor berjalan lambat keluar dari apartemen Tatiana yang hanya termenung.
Tangannya naik menyentuh bekas ciuman Taylor. Membuat bekas itu terus lekat dikulitnya.
"Malam" jawab Tatiana lirih setelah kepergian Taylor. Mulai merasa rindu dengan hawa panas dan aroma dari tubuh Taylor.
***
Taylor masuk kesalah satu kamar VIP rumah sakit. Ruangan itu hampir sama besarnya dengan kamar hotel dengan fasilitas yang lengkap.
Televisi dan lemari es kecil serta sofa berjejer didekat tempat tidur pasien. Ditepi tempat tidur berdiri Alan yang sedang mengobrol dengan Josh.
Suara rintihan Josh terdengar disela sela pembicaraan mereka. Taylor menutup pintu dengan keras membuat mereka berdua menoleh kearahnya.
"Kau ingin mengamuk lagi?" tanya Alan dengan nada datar.
"Tidak. Aku ingin meng-Clear-kan masalah ini." Taylor mendapatkan pandangan aneh dari mereka berdua.
"Bukan aku yang mengirimkan pesan itu padamu, Josh."
"Kalau bukan kau terus siapa? pesan itu tertanda atas namamu." ketus Josh dengan wajah yang penuh balutan. bengkak dimatanya berwarna ungu menjijikkan.
"Aku tidak tahu siapa! yang jelas itu bukan aku!"
"Maksudmu, ada yang mengkambing hitamkanmu?" Taylor mengangguk mendengar pernyataan Alan.
"Dimana handphonemu Josh? aku akan mengeceknya." Sahut Alan
"Di meja."
"Seharusnya kau menelponku dulu sebelum melacarkan aksimu."
"Aku menelponmu ingat." dengus Josh yang kemudian terpekik karna melupakan hidungnya yang patah saat mendengus.
"Dan aku memerintahkanmu untuk berhenti dan melepaskannya kenapa kau masih terus menyekapnya bahkan kalian hampir memperkosanya!" geram Taylor teringat kembali keadaan Tatiana saat dia menemukannya dibasement club malam milik keluarga Kingsley.
"Aku benar benar bingung saat itu dude. kami sudah berhasil melakukan perintahmu dan kemudian kau mengatakan bukan dirimu yang memberi komando sedangkan mereka sudah kelaparan melihat tubuh sexy guru baru. Itu sama saja menyuruh kucing melepaskan ikan yang sudah berada dimulutnya."
Taylor memukul meja kecil mendengar kata kata pelecehan Josh mengenai Tatiana.
"beruntung kau masih bisa selamat Josh. Sekali lagi kau berbicara mengenai dia seperti itu sampai melukainya lagi aku akan mengirimmu ke tempat nenek moyangmu berada."
"Dan jangan pernah berani berani menyebar luaskan masalah ini ke ranah publik kalau kau berani aku juga akan mempublikasikan usaha kotor keluargamu selama ini ke media yang sedang mengais diluar sana."
Josh merinding mendengar geraman liar dan tatapan marah Taylor.
"Oke! Aku paham. Kau tak perlu menggeram seperti anjing liar."
"Nomornya tidak aktif." sahut Alan memecahkan pertikaian mereka sambil mengotak Atik telepon genggam Josh.
"Handphonenya Alan. Aku yang akan mencari tahu sendiri identitas si brengsek ini."
Alan menyerahkan handphone Josh ke tangan Taylor. Taylor menepuk kaki Josh yang diselimuti selimut.
"Semoga lekas sembuh Josh."
Josh bergidik saat mendengar kata kata penghiburan Taylor. Mereka bernapas lega setelah kepergiannya.
***
Kau sudah tidur?
Tatiana hanya melihat isi pesan yang baru dikirim Taylor tanpa ada niat membalasnya. Membiarkan handphone yang diberikan tuan muda itu tergeletak disampingnya.
Tatiana terlonjak saat mendengar nada dering dari handphone itu. foto Taylor yang sedang menyeringai
terpampang di layar.
Tatiana mendengus geli melihat wajah bodoh Taylor. Tatianapun mengangkat panggilannya.
"Kenapa kau tidak membalas pesanku?! Aku menunggu sudah lama sekali!" Tatiana memutar matanya melihat kehebohan Taylor.
"Aku sedang tidur, Taylor."
"Oh. Maafkan aku. Aku tidak tahu."
"Hmmm."
"Kalau begitu, selamat tidur."
"Hmmm." Tatiana menunggu taylor mematikan panggilannya tapi panggilan terus berjalan.
"Kau tidak mematikan handphonemu?"tanya Tatiana bingung.
"Perlukah?"
"Aku ingin tidur Taylor."
"Tidur saja. Aku hanya ingin mendengarmu tidur." Tatiana bisa membayangkan seringaian bodoh diwajahnya Taylor saat ini.
"Terserah." Jengkel, Tatiana membiarkan handphone berada disampingnya.
Terdengar suara suara berisik dari handphone. penasaran Tatiana kembali mendekatkannya ke telinga.
Suara gitar mengalun indah disusul suara Taylor.
Here I am waiting, I'll have to leave soon, why am I holding on.
We knew this day would come, we knew it all along.
How did it come so fast.
This is our last night, but its late and I'm tryin' not to sleep.
Cuz I know, when I wake I will have to slip away.
And when the daylight comes I'll have to go.
But, tonight I'm gonna hold you so close.
Cuz in the daylight, we'll be on our own.
But, tonight I need to hold you so close.
Tatiana memejamkan matanya menikmati suara merdu Taylor dan alunan petikan gitar yang serasi.
Here I am staring, at your perfection in my arms; so beautiful.
The sky is getting bright, the stars are burnin' out.
Somebody slow it down.
This is way too hard, cuz I know when the sun comes up I will leave.
This is my last glance that will soon be memories.
And when the daylight comes I'll have to go.
But, tonight I'm gonna hold you so close.
Lagu yang seharusnya romantis itu membuat Tatiana menjadi sedih. Inilah malam terakhir mereka berdua bisa saling berdekatan dan bersentuhan.
Ketika matahari mulai keluar dari peraduannya mereka kembali dihadapkan fakta bahwa mereka tidak bisa lagi mengalami malam yang sama seperti malam ini.
I never want it to stop, because I don't want to start all over, start all over.
I was afraid of the dark, but now its all that I want, all that I want, all that I want.
And when the daylight comes I'll have to go.
But, tonight I'm gonna hold you so close.
Cuz in the daylight, we'll be on our own.
But, tonight I need to hold you so close.
"Aku tidak tahu kalau kau begitu pandai bernyanyi?" tanya Tatiana ketika gitar berhenti mengalun.
"Kukira kau sudah tidur."
"Belum. Aku sedang menikmati suaramu."
"Kau suka?" Tatiana tersenyum mendengar nada riang Taylor.
"Hmm." Tatiana mengiyakan.
"Kalau begitu, aku akan menyanyikan satu buah lagu lagi untukmu."
Taylorpun mulai memainkan gitarnya. Suara merdunya kembali bernyanyi kini dengan nada riang yang membawa Tatiana ke alam mimpi.
Setelah yakin Tatiana tidur Taylorpun menaruh gitarnya dan beranjak keatas ranjang. Handphone tetap berada didekat telinganya mendengar alunan suara napas Tatiana yang membuatnya perlahan lahan ikut tertidur.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)

Tidak ada komentar:
Posting Komentar