Minggu, 09 Februari 2014

Hurt Enough (chapter 14)


_____________________________________________
Aku mencabuti satu persatu ilalang dan tanaman rambat yang tumbuh liar disekitar batu nisan membuat telapak tanganku menjadi kebas penuh goresan luka. Keringat mulai membasahi dahi dan punggungku.
Aku berdiri untuk melepaskan jaket dari tubuhku dan menjatuhkannya ke tanah. Ku lap keringat didahiku dan kembali berjongkok untuk membersihkan makam yang ketiga, makam Nora.

"Ada yang bisa kubantu anak muda?"

Pemilik suara serak datang sambil membawa gerobak yang diatasnya bertumpuk alat alat berkebun. Pria yang sudah tua itu memakai topi lebar dari jerami dan sepatu botnya penuh lumpur yang sudah mengering.

"Tidak apa-apa, sir. Saya ingin mengerjakannya sendiri."

Pria itu menatap ku lama kemudian mengambil sekop kecil dari dalam gerobaknya dan mengulurkannya padaku.

"Kau perlu ini untuk menyingkirkan lumut lumut yang ada di batu nisan."

"Terimakasih"



Aku tersenyum lemah mengambil sekop, pria tua itupun mengangguk dan mendorong gerobaknya menjauh dariku yang kembali menyibukkan diri.

Rumput-rumput liar yang tumbuh di makam Nora tidak begitu banyak seperti dua makam lainnya yang telah kubersihkan sebelumnya. Seluruh rumput yang telah kucabut ku kumpulkan tak jauh dari makam. Kuambil sekop yang dipinjamkan pria tua tadi dan mulai mengikis lumut di batu nisan granpa dan grandma.

Hari sudah semakin senja, cahaya matahari mulai menghilang.Kulap kembali wajahku yang penuh keringat dengan punggung tanganku. Setelah yakin ketiga makam didepanku bersih akupun duduk bersila didepan mereka.

"Tidak seharusnya aku menelantarkan makam kalian sampai seperti ini. Maafkan aku." aku menundukkan kepala merasa bersalah.

"Maafkan aku grandma-grandpa yang tak bisa menjaga Nora dengan baik. Aku sungguh sungguh minta maaf."

"Maafkan aku Nora.." aku bergumam semakin merundukkan kepala. Ku pejamkan mataku menahan sesak yang muncul di dada. bayangan gadis berambut merah sedang melompat lompat mengejar kupu kupu diatas Padang rumput muncul dibenakku. Tawa riangnya membuat mataku berkabut akibat airmata.

"Kyle!" gadis itu memandangku sambil tersenyum. Bibirnya bergerak mengatakan sesuatu tapi aku tidak bisa mendengar apa yang dikatakannya.

"Kau tidak apa apa nak?"

Aku tersentak saat pria tua tadi berdiri dibelakangku dan menyentuh bahuku, menyadarkan ku dari lamunan. Dengan cepat ku tepis airmata yang jatuh ke pipiku dengan punggung tangan.Pria tua itu meletakkan setangkai bunga disetiap makam.Kemudian ikut duduk disampingku.

"Mr. Gerald selalu datang kesini.Duduk didepan pusara istrinya berjam jam, seperti yang kau lakukan sekarang.Hampir setiap hari beliau datang sambil membawa sebuket bunga." Aku hanya diam memandang batu nisan grandpa.

"Semua hal akan menghilang, orang orang yang kita sayangi akan pergi dan meninggalkan kita dan kau tahu apa yang terjadi selanjutnya?" Aku menggeleng menatap pria tua itu yang tampak tersenyum membuat kerutan di ujung matanya terlihat.

"Hidup tetap berjalan seperti biasanya anak muda." pria itu menunjuk dada kiriku yang merasa sesak dan menyakitkan.

"Jangan salahkan dirimu atas apa yang sudah digariskan Tuhan padamu. Jangan menjadikan mereka yang sudah pergi dengan tenang sebagai alasan keterpurukanmu, dimana kau tahu yang membuatmu terpuruk adalah karna dirimu sendiri. kau tahu pasti mereka tidak pernah menyalahkanmu, tidak pernah kecewa dengan keputusan yang telah kau ambil dan Kami menyayangimu apa adanya."

Kutangkup kedua tanganku diwajah menangis dan meraung.

Ya, aku tahu pasti mereka tidak pernah menyalahkanku, aku tahu aku memiliki pilihan untuk menjadi baik atau jatuh kedalam jurang terdalam.
Aku tahu pasti aku bisa berhenti melakukan ini semua, berhenti menyalahkan orang lain atas apa yang terjadi dalam hidupku, berhenti mendendam pada mereka yang sebenarnya tak berbuat apa apa padaku.
Aku lah yang membuat diriku tak pantas untuk dicintai karna aku menolak untuk mencintai.Aku lah yang membuat diriku terpuruk padahal aku memiliki pilihan yang lebih baik.

Badanku semakin menunduk didepan makam grandma, meminta maaf ditengah tengah tangisanku. Aku merasa ada sesuatu yang ringan membelai kepalaku. Aku menoleh kesamping ditempat pria tua tadi duduk yang kini kosong.

Kulihat sekeliling pemakaman yang kosong hanya aku yang duduk sendiri ditengah tengah pemakaman.Ku bersihkan wajahku yang penuh airmata dengan jaketku kemudian bangkit mengambil sekop kecil yang dipinjamkan pria tua tadi.

"Aku akan sering menemui kalian, aku berjanji."

Aku berjalan keluar dari pemakaman menuju mobil. Saat itu aku melihat pria tua itu dipintu gerbang sambil terbungkuk bungkuk membawa segerombolan kunci ditangannya.

"Sir, terimakasih atas sekop dan bunganya." aku mendekatinya sambil menyerahkan sekop padanya.Dia tampak bingung saat mengambil sekop dari tanganku.

"Bunga? seingat ku hanya sekop yang ku pinjamkan." jawabnya tampak bingung.

"Apa Anda mengenal kakek saya? Gerald Brook yang dimakamkan kesini?" pria tua itu menggeleng.

"Beliau yang sering datang mengunjungi makam istrinya sambil membawa bunga setiap hari. Anda yang bilang seperti itu pada saya."

"Aku hanya sekali seminggu membersihkan pemakaman ini dan aku tidak pernah mengatakan hal seperti itu padamu. Bukannya kau yang bilang tidak mau dibantu? setelah itu aku pulang kerumah untuk mengambil kunci kunci ini."

Pria tua didepanku mengangkat tangannya untuk menunjukkan sekumpulan kunci yang dipegangnya.

"Maafkan saya. Mungkin saya salah orang." pria tua itu mengangguk sambil melenggang pergi.

Apa aku tidur berjalan lagi? apa tadi itu mimpi? Mungkinkah?a ku kembali menoleh kearah pemakaman yang kini tampak sunyi dan gelap.

Kami menyayangimu apa adanya

Kalimat itu membuat beban tak kasat mata yang menghimpitku serasa runtuh dan hilang. Ada rasa lega yang membuatku bisa bernafas dengan ringan.

"Aku menyayangi kalian" aku berbisik berharap mereka mendengar. Aku pun dengan mantap menghidupkan mesin mobil menuju satu tempat yang tidak pernah kudatangi yang merupakan akar rasa takut dan sesakku.

****

Wanita itu terlihat tua dengan wajah yang penuh kerutan duduk didepan meja rias, menyisir rambut panjangnya yang berwarna putih.

Tatapannya kosong menatap pantulan wajahnya. Gaun berwarna putih kusam yang melekat di tubuhnya tampak kebesaran.Wanita itu tampak pucat dan kurus, seperti tulang yang hanya dilapisi kulit.

Aku berdiri kaku didepan pintu menatap punggungnya. Punggung kecil yang tampak begitu rapuh.Terakhir kali aku bertemu dengannya saat aku masih berumur sepuluh tahun, grandma mengajakku dan Nora untuk melihatnya.

Saat itu aku membencinya dan marah dengan apa yang dilakukannya saat kami datang, dia meraung begitu melihat mataku dan Nora. Melempar seluruh barang yang ada pada kami. Aku begitu marah saat dia mencoba menyakiti Nora.

Bau kamar itu begitu menyengat membuat hidungku sakit tak sanggup berlama lama berada didalam. Aku keluar menghirup udara segar. Duduk diatas tangga menatap langit malam.Terdengar suara nyanyiansamar yang membuatku terenyuh, twinkle little star. lagu yang dulu selalu dinyanyikannya untukku.

Seorang suster datang membawa troli yang berisi makanan kedalam kamar.aku berdiri menyapa suster yang sudah lama tak pernah kutemui lagi. Suster itu terkejut akan kehadiranku.

"Kyle?" tanyanya padaku, aku pun mengangguk.suster Ana langsung memelukku. matanya begitu berbinar menatapku.

"Wah! kau sudah besar sekali, terakhir kita bertemu kau masih setinggi pinggangku." aku hanya tersenyum malu padanya.

"Bagaimana keadaannya?" tanyaku, keceriaan diraut muka suster Ana yang sudah tua berubah menjadi sedih sambil menghela nafas dan melepaskan pelukannya dari tubuhku.

"Adela sudah dalam kondisi yang begitu lemah, saraf sarafnya sudah lima puluh persen tidak bisa berfungsi dengan baik tapi keadaan mentalnya sudah jauh lebih baik dari yang dulu. Dia sudah jarang mengamuk dan berteriak.Kau ingin menemuinya?"

Aku diam agak lama tanpa memberi respon masih ragu dengan apa yang kulakukan. tangan suster Ana jatuh kelenganku, dia mengangguk lemah membawaku kedalam kamar.

"Adela," suster Ana memanggil wanita yang masih sibuk menyisir rambutnya didepan meja rias. "ada yang datang untuk melihat keadaanmu." suara suster Ana begitu lembut untuk menarik perhatian wanita itu. tatapannya yang kosong berpaling dari cermin menatap suster Ana yang berdiri disampingnya. suster Ana memegang bahu wanita itu untuk berdiri didepanku.

“ibu..”

Aku memanggil wanita yang berdiri dengan tatapan kosong menatap suster Ana yang mengangguk dan tersenyum.Ibu menatapku, tatapannya yang kosong dan raut mukanya yang datar berubah ketakutan. Sisir yang tadi dipegangnya menghantam kepalaku. Tubuhnya memberontak disisi suster Ana yang terus menahan tubuh ibu yang akan menerjangku. Aku menggenggam kedua pergelangan tangannya yang terus memukuli
tubuh suster Ana.

“panggil dokter atau siapa saja, suster Ana! Aku akan menahannya!” aku berteriak meminta suster Ana untuk pergi mencari bantuan ditengah lolongan ibu yang memilukan. Suster Ana tergopoh gopoh keluar dari kamar.Meninggalkanku yang terus mendekap tubuh ibu yang memberontak.

Kuku kuku panjangnya menggores punggung tanganku, tangannya bergerak liar mencakar leher dan wajahku.Aku meringis ketika giginya menancap bahuku, bisa kurasakan dagingku robek dibeberapa tempat yang digigitnya.

“lepaskan aku!!” dia berteriak, matanya berputar tak focus.

“ibu, ini aku Kyle.”

“tidak! Kau adalah laki laki bajingan yang merusak hidupku! Jangan menggangguku lagi! berhenti menyiksaku! Aku muak padamu! Bajingan!”

Ibu terus mengamuk, sumpah serapah terus diteriakinya. Aku semakin kuat mendekap tubuh ibu yang terus bergerak, aku bisa merasakan sakit hati dan dendam yang terus mengakar dihatinya lewat sumpah serapah yang dilontarkannya padaku. Baru kusadari sekarang, kalau kami begitu mirip dengan pria yang di cintainya sekaligus paling dibencinya. Pria yang meninggalkan dan merusak hidupnya.

“maafkan aku ibu, maafkan aku..” kata kata itu terus kuulang ditengah amukan dan teriakannya. Suster ana masuk kedalam ruangan dengan dua orang suster laki laki.Mereka membawa tubuh ibu yang memberontak berbaring ke tempat tidur, mengambil tali yang seperti ikat pinggang dibawah tempat tidur dan mengikat tubuhnya. Ibu semakin berteriak menatap kearahku yang pergi meninggalkan kamar dengan suster Ana yang membimbingku.

****

Aku duduk didapur rumah sakit bersama suster Ana. Suster Ana yang lembut membuatku menceritakan alasan kedatanganku, yaitu untuk menghilangkan semua yang menjadi beban pikiranku menghilangkan ketakutanku yang terbesar, takut akan menjadi seperti ibu dan semua yang kulakukan ini untuk bisa berada disisi Joanna tanpa ada rasa kasihan, sakit hati dan amarah.

“Adela, menjadi seperti sekarang karna tak ada teman seperti Joanna disampingnya, teman yang selalu ada untuknya disaat suka dan duka.” Wajah Joanna yang tersenyum dan menangis untukku membuat hatiku terenyuh.

“Kyle kau orang yang beruntung, tuhan mempertemukanmu dengannya karna tuhan menyayangimu jadi jangan sia siakan berkah yang telah diberinya kepadamu.” Suster Ana menyentuh pundakku, membuatku sadar akan arti Joanna untukku.

Akulah yang  lebih membutuhkan Joanna, lebih mencintai Joanna dari yang pernah kusadari sebelumnya. Betapa bodohnya aku! Betapa pengecutnya aku! Perasaanku tertutup dengan segala tetek bengek emosi dan sakit hati, mengubur dalam dalam perasaan yang jelas aku rasakan pada Joanna, menolak perasaan yang selalu Joanna utarakan padaku.

Aku mengacak acak rambutku yang kusut semakin membuatku tampak frustrasi. Suster Ana mencengkram pundakku, senyumnya mengembang saat aku menoleh melihatnya.

“semua orang yang pernah patah hati pasti mengatakan bahwa cinta itu perasaan yang menyakitkan, tapi itu salah karna kesepian, ditolak dan kehilangan orang yang kita sayangi lah yang lebih menyakitkan dan Perasaan cinta lah satu satunya hal didunia ini yang bisa menyembuhkan semua perasaan sakit itu kemudian membuat perasaan kita kembali indah.”

Aku menyentuh tangan suster Ana yang keriput. Suster Ana betul perasaan cinta dan dukungan dari Joanna lah yang membuatku kini bisa berdiri dan bisa menghadapi rasa sakit dihatiku. Begitu juga dengan ibu, saat ini yang dibutuhkannya adalah Cinta dan dukungan untuk membuatnya memiliki arti hidup.

“terimakasih banyak suster Ana, aku akan berusaha membuat ibu mengenalku.”

****

Sudah hampir dua bulan lebih aku berada dirumah sakit jiwa yang berada dipinggiran kota. Setiap hari aku membantu suster Ana merawat ibu, walaupun dia masih memberontak saat melihatku, mencakarku dan melemparkan semua barang padaku tapi aku berkeras untuk tidak menyerah.

Selama dua bulan disini, waktu malam kuhabiskan untuk menulis surat kepada Joanna yang tak pernah kukirim. Aku menulis dan menyimpannya kedalam laci, kegiatan itu terus kuulang-ulang membuatku sangat merindukan untuk berbicara langsung padanya dan mendengar suaranya.

Aku pernah mengunjunginya dirumah sakit di pertengahan bulan awal tapi lagi lagi kakiku tak mau bergerak. Aku hanya melihat Helena dan seseorang yang tampak lebih tua darinya dan tinggi memakai kacamata keluar dari rumah sakit sambil berdebat kemudian berpisah.Setelah mereka menjauh kupaksa diriku untuk berjalan masuk kedalam rumah sakit.

Aku benar benar beruntung saat ayah Joanna datang melewatiku. Ayahnya pernah datang menemuiku untuk memaki dan memukulku yang telah menculik anaknya. Aku hanya diam dan pasrah menerima semua perlakuan kasar yang diberikan ayah Joanna. Aku benar benar bersyukur saat melihatnya dan mengikutinya dari belakang. Aku berhenti dan bersembunyi ketika ayah Joanna masuk kedalam sebuah kamar, ayah Joanna keluar dengan seorang wanita bertubuh pendek dan agak berisi melewatiku yang memunggungi mereka.

Aku menyelinap masuk kedalam kamar Joanna. Kamar bernuansa putih itu tampak tenang dan nyaman.Joanna sedang berbaring diatas tempat tidur, wajahnya tertidur pulas. Aku berdiri disampingnya, jari jariku menyentuh pipinya yang sudah tidak terlihat chubby lagi.

geliebthe” panggilku lirih. Aku duduk dikursi sambil menyentuh tangannya yang sejuk. Kubawa telapak tangan Joanna kepipiku yang panas akibat berlarian mengikuti ayahnya. Perasaan itu muncul kembali perasaan yang selalu kurindukan saat bersamanya, perasaan tenang dan nyaman setiap kali aku berada disisinya.

Aku tahu aku tidak bisa berlama lama berada disisinya sekarang karna saat orang tuanya tahu aku ada disini khususnya ayahnya, aku yakin mereka akan memenjarakanku lagi. Aku mencium dahi Joanna, menghirup aromanya kemudian beranjak keluar dari kamar Joanna kembali ketempat ibu.

Selama aku berada di rumah sakit jiwa, aku berusaha mengumpulkan nama nama relasi relasi grandpa dan menyusun rencanaku untuk membangun kembali perkebunan grandpa. Aku berusaha menata kembali hidupku.

Aku benar benar bersyukur saat teman teman dekat grandpa yang juga mengenalku mau membantuku dan memberikan pinjaman untuk membangun kembali perkebunan dari awal. Aku juga mengambil tabungan grandma yang ditujukan kepada  Nora untuk membantu usahaku, walaupun awalnya berat tapi aku yakin grandma akan menyetujui dan mendukung dengan apa yang kukerjakan sekarang.

Hidupku perlahan lahan kembali menjadi lebih baik selama lima bulan yang kulalui, ibu sudah mulai terbiasa dengan keberadaanku, aku sudah bisa berdiri didepannya tanpa membuatnya mengamuk. Tentu saja hidupku yang perlahan lahan menjadi baik membuatku yakin dan percaya diri untuk bertemu dengan Joanna.
Pertengahan bulan kelima aku melihat senyumannya yang cerah saat aku keluar dari mobilku untuk menghampirinya. Saat itu aku melihat mobil hitam yang mengkilap berhenti didepanku, Joanna tersenyum kepada sipemilik mobil dan langsung masuk kedalam.

Aku terdiam, otak ku tidak bisa memproses apa yang baru saja kulihat. Aku mencoba berpikir positif dan kembali keperkebunan. Minggu selanjutnya aku datang kekampus untuk bertemu dengan Joanna, aku membawa sebuket bunga yang kupetik dihalaman rumah suster Ana.

Aku langsung menutup pintu mobil saat aku melihat pria berkacamata memakai jas lengkap keluar dari mobil hitam mengkilap, pria itu melambaikan tangan kearah Joanna yang baru keluar dari kampus dan Joanna langsung menghambur kepelukan pria itu dengan senyum cerah yang kurindukan. Aku benar benar senang bisa melihat senyum itu lagi, begitu bahagia melihatnya kini bahagia tapi ada rasa sakit yang tiba tiba menjalar dalam diriku. Aku menghidupkan mesin mobil dan langsung menggasnya menuju rumah.

Aku tidur dikamar yang dulunya tempat Joanna diculik.Aku berbaring sambil mencengkram dada kiriku yang terasa sakit, seperti ditusuk berkali kali saat teringat senyum Joanna yang bukan ditujukan padaku.Aku mengerang akan rasa perih yang melekat, ini lebih dari rasa sakit hati dan amarah yang pernah kurasakan sebelumnya, kali ini bukan hatiku saja yang sakit tapi seluruh tubuhku merasakan kesakitan yang sama.

****

Aku tertawa melihat Victor, pegawai baru yang kuperkerjakan untuk mengawasi perkebunanku berlari dengan histeris menghindari Baro dan Ciko, dua anjing penjaga yang kudapat dari salah satu kenalan grandpa.Victor yang masih muda belum pernah menangani anjing jenis Doberman sebelumnya sedangkan Baro dan Ciko menganggap Victor mainan mereka. Aku mendekat menghentikan kedua anjing itu, dan mengajari Victor cara menangani mereka.

Semua berjalan dengan sangat baik di perkebunan grandpa, sudah ada beberapa pegawai dan dua pegawai ahli yang kupekerjakan.Hari hari kuhabiskan dengan bolak balik dari perkebunan ketempat ibu. Aku benar benar senang saat beliau menyebut namaku saat dia sedang menyisir rambutnya didepan meja rias.Hanya sekali tapi rasanya begitu luar biasa.

Aku ingin memberitahu Joanna tentang kebahagiaanku saat ini. Ingin menemuinya dan menceritakan setahun yang kulalui tanpa dirinya, bagaimana rindunya diriku pada suara tawanya, sesenggukannya saat menangis dan teriakannya saat marah. Setahun yang kulalui dengan mengingat dirinya disetiap diriku lemah dan bahagia.Janjiku pada Joanna lah yang membuatku tidak menyerah dan kalah.

Dan ini untuk ketiga kalinya aku berdiri didepan kampus untuk melihat dirinya yang memakai jubah hitam dan toga. Dia begitu terlihat senang dan bahagia berlarian kearahku yang berdiri cukup jauh dari kerumunan orang. Berlarian memeluk pria tinggi yang memakai setelan jas lengkap yang berdiri didepanku yang menyambut pelukan Joanna dan memutar tubuh Joanna. Aku tersenyum lemah berharap akulah yang berada diposisi pria itu, menerima senyuman cerah dan pelukan hangat Joanna.

Aku kembali menuju parkiran, meninggalkan Joanna yang bahagia.Aku terkejut saat pintu mobilku ditendang.Aku menoleh dan melihat Helena yang berdiri didepanku dengan eksperesi ‘aku akan memakanmu bulat bulat.’

“hai.” Aku menyapa dengan senyuman tanggung seperti orang sakit gigi. Helena hanya berdecak membalas sapaanku.

“kau mau kabur lagi.” pernyataan Helena begitu menuduh.

“aku tidak kabur dari siapapun atau apapun. Jangan menghakimi pilihanku kalau kau sendiri tidak tahu alasan dari semua yang kulakukan.” Aku berusaha meredam emosi dari intimidasi Helena.

“persetan dengan alasan bullshit yang kau bicarakan!” Helena menarik kerah bajuku untuk menyudutkanku.

“ jangan bersikap seperti nenek nenek tua. Temui dia dan bicara dengannya!”

“aku sudah kehilangan dia. Dia sudah bahagia dan aku tidak ingin mengganggu hidupnya lagi!

“ kalau begitu, perjuangkan dirinya seperti dia dulu memperjuangkanmu!”

“aku mencoba! Dan aku takut gagal.” Aku mengeryit tak sanggup memandang mata Helena yang berapi api menantangku. Helena memukul perutku cukup keras membuatku tersentak dengan tindakannya yang tiba tiba.

“aku paling benci sifatmu yang seperti ini, Kyle! Jangan bersikap seperti pengecut, kau belum tahu apakah dia akan menerimamu kembali atau menolakmu. Seumur hidup kau akan hidup dalam penyesalan kalau kau hanya berkubang dalam ketakutan tanpa berbuat apapun. Camkan itu diotak udangmu!” Helena meninggalkanku yang terus terbayang akan ucapannya hingga sekarang aku berdiri mengamati Baro dan Ciko yang berlarian dengan Victor yang sekarang mengejar ngejar mereka.

****

Aku menatapnya yang sedang duduk dibangku taman sibuk dengan buku yang dibacanya. Ku Kuatkan hatiku yang berdetak sangat cepat begitu gugup untuk menemuinya. Perkataan Helena benar benar seperti air es yang menampar wajahku.

Inilah aku yang bodoh dan pengecut berdiri didepan Joanna yang terperangah menatapku. Aku berusaha tampil sebaik mungkin untuk bertemu dengan Joanna , rambutku yang sudah kupotong cepak kusisir rapi. Memakai kemeja dan jeans bersih.Kulitku yang dulu tampak pucat dan kurus kini sudah mulai menggelap dan berotot karna pekerjaan diperkebunan yang menuntut fisik diluar ruangan.

Aku membuka mulut kemudian menutupnya lagi. Tanganku naik mengelus belakang leherku yang tegang. Aku bingung ingin mengatakan apa sekarang, padahal saat dirumah dan diperjalanan aku sudah memikirkan apa yang ingin kusampaikan padanya. Aku mulai berkeringat.

“boleh aku duduk disampingmu?” tanyaku dengan suara serak karna gugup. Joanna yang masih terkejut beberapa kali berkedip, kemudian menyingkirkan tasnya yang menutupi bangku taman. Joanna tersenyum lemah mempersilahkan ku untuk duduk.

Hatiku seakaan meloncat melihatnya tersenyum padaku. Kutepis rasa gugupku dan duduk disebelahnya. Cukup lama kami diam, otakku berpikir keras untuk menghilangkan kekakuan yang ada diantara kami.Aku melirik buku yang berada digenggaman Joanna.

“sastra, huh?” aku menunjuk buku yang dipegang Joanna. Joanna mengangguk lemah.Kemudian bingung menatapku yang tertawa kecil.

“aku mengingat pertama kali kita mulai bicara, seperti ini juga.” Joanna tersenyum mengingat kembali kejadian itu.

“ya. Bedanya dulu aku dan kau tidak mengenal satu sama lain dan sekarang kita sudah saling mengenal sehingga tidak perlu bicara basa basi seperti itu lagi.” Joanna mengatakannya dengan wajah datar.

“aku tahu. Maafkan aku.” Joanna bangkit dari bangku taman mengambil tasnya dan beranjak pergi. Aku membuang nafas sambil mengacak rambutku yang rapi ikut berdiri dan menggapai lengan Joanna.

“dengarkan aku dulu Joanna, kumohon.”

“untuk apa? Kau ingin mengucapkan kata maaf dan selamat tinggal secara langsung kali ini?Terimakasih atas kesopananmu karna aku benar benar tidak ingin mendengarnya.” Joanna menepis genggamanku berjalan dengan angkuh menjauhiku.Aku bingung maksud dari kata kata Joanna dan kembali mengejar langkahnya.

“tunggu, geliebthe. Aku bukan datang kesini untuk mengatakan itu! Aku tidak akan pernah mengatakan selamat tinggal padamu karna aku tidak ingin pergi kemana mana” Joanna menatapku dengan eksperesi yang masih terlihat kesal.

“aku ingin minta maaf atas kebodohanku selama ini yang pergi begitu saja tanpa mengatakan kalau, aku mencintaimu.” Kedua tanganku menangkup kedua pipi Joanna, membuatnya menatapku.

I love you, aku sudah mengetahui perasaan ini dari pertama aku mengenalmu.  Aku minta maaf karna begitu lama waktu yang kuperlukan untuk menyadarinya, I just got stuck.” Tanganku mulai bergetar dipipi Joanna.

“aku mencintaimu joanna, aku benar-benar dan sungguh sungguh jatuh cinta padamu dan aku tidak peduli jika kau pikir apa yang kulakukan sekarang sudah terlambat. Aku akan tetap menyatakannya padamu.” Aku menatap mata Joanna mencari sebentuk emosi dalam raut wajahnya yang datar saat mendengarkan pernyataanku.

“kumohon, katakan lah sesuatu. Kau boleh mengatakan apapun, melakukan apapun padaku, tolong jangan mendiamkan aku.” Joanna masih mengatupkan bibirnya membuat dadaku sesak.Joanna menarik tubuhnya menjauh dari sentuhanku.

Tanganku jatuh terkulai disisi badanku ketika Joanna menampar pipiku keras.Airmataku seakan ingin meloncat bukan karna rasa sakit dipipiku tapi akibat rasa perih yang muncul didadaku.Rasa perih akibat penolakan dari orang yang kucintai.

“aku ingin melakukan itu dari dulu.” Joanna menarik kerah kemejaku hingga kepalaku menunduk dan mataku membelalak ketika bibirnya menyentuh bibirku.

“Aku membencimu! Aku membenci mu karna telah menyakiti hatiku, aku membencimu karna sampai sekarang aku masih tetap mencintaimu.”  Airmata mulai mengalir dipipi Joanna.

“jangan pernah lakukan hal itu lagi padaku, tepati janjimu kalau kau akan selalu berada disampingku. Dan jauhkan pikiran mengenai kau tak pantas untukku, akulah yang tahu apa yang terbaik untuk diriku sendiri. kau mengerti?” tanyanya dengan mengeryitkan alis. Aku langsung memeluk tubuhnya.

oh my god. Kau benar benar membuatku takut. Aku tidak pernah setakut ini kehilangan sesuatu seumur hidupku. Aku mengira kau akan menolakku.”  Aku menghela nafas lega.

“aku kan sudah bilang jangan berpikiran seperti itu. Berjanjilah.” Tangan Joanna mencengkram baju belakangku.Kepalanya mendongak menatapku. Aku tersenyum menatap wajah yang kurindukan.Aku menggigit pelan hidung mungilnya.

“aku berjanji untuk tidak memikirkan hal hal yang tidak perlu. Aku berjanji akan selalu berada disisimu dan selalu mencintaimu, geliebthe.” Aku mencium bibirnya. Dari ujung kaki hingga kepalaku merasakan sesuatu yang menggelitik dan berasa manis mengalir disekujur tubuhku. Rasanya benar benar luar biasa.Seringaian tak pernah lepas dari bibirku.

gelibthe? Apa artinya?” Tanya Joanna saat aku menghentikan ciuman untuk bernafas.

“kekasihku.” Jawabku singkat sambil mengecup pipi chubbynya yang kini memerah dan basah. Bibirku menyentuh kelopak matanya, hidung hingga bibir atasnya.

I always love you.” Kuucapkan janji yang tak akan pernah ku ingkari lagi. aku kembali mencium bibir Joanna untuk membuktikan perkataanku tak peduli dengan tatapan orang yang dari tadi melihat kami.

 TBC..




Tidak ada komentar: