Minggu, 23 Februari 2014

Sang Nouveau (Chapter 11)





Para pelayan membungkuk ketika Taylor berjalan melewati mereka.Taylor bergegas melewati lorong yang penuh dengan lukisan disetiap dindingnya.

Kepala pelayan yang sudah tua muncul dibelakangnya, tergopoh gopoh menyusul langkah Taylor yang panjang menuju kamarnya. Diikuti dua pelayan.

Taylor melempar dasi dan jasnya kelantai kamar. Dua pelayan langsung memungutnya dan membungkuk mundur kebelakang membiarkan Taylor yang merebahkan tubuh lelahnya keatas tempat tidur. Wajah Tatiana yang memerah saat disentuh pamannya menari nari dikepalanya.


"Apa paman sudah pulang?" tanyanya sambil menatap langit langit kamar.

"Beliau baru saja sampai tuan muda. Sekarang beliau ada diruang kerjanya." jawab kepala pelayannya.

Taylor langsung bangkit dari tempat tidur, mendorong tubuh para pelayannya yang menghalangi pintu untuk menjauh.

Taylor setengah melompat menuruni tangga menuju ruang kerja pamannya yang berada di lantai bawah, disudut rumah.

Pintu kayu yang dipernis mengkilap dengan ganggang berwarna emas menjeblak terbuka. Kedatangan Taylor membuat pamannya yang sedang duduk dimeja kerja kaget.

"Bisakah kau membuka pintu dengan lebih sopan Taylor? Aku  tidak pernah mengajarimu menjadi anak tidak sopan seperti itu."

"Pecat dia!"

"Apa?"

"Aku bilang pecat guru baru itu." Taylor mengulangi kata katanya dengan lambat. Mr. Harold menggelengkan kepalanya menjawab permintaan Taylor.

"Kita tidak bisa begitu saja memecatnya, Taylor. Ini baru hari pertama dia mengajar dan sekolah sangat membutuhkannya."

"Aku tidak peduli. Aku hanya ingin dia keluar dari sana!"

"Taylor, aku sudah bilang padamu alasannya kenapa kita tidak bisa memecatnya." Mr. Harold kembali memperhatikan dokumen dokumen yang berada diatas meja kerja.

"Sekolah itu milikku. Aku punya hak untuk melakukan apapun terhadapnya!" Taylor semakin meradang melihat pamannya yang acuh.

"Aku tahu. Tapi hal itu berlaku saat kau sudah menginjak umur dua puluh tahun, jangan lupa itu." pamannya berbicara dari balik kertas kertas yang sibuk ditanda tanganinya.

Taylor menyipit tidak suka dengan ketenangan yang ditunjukkan pamannya. Taylor memperhatikan gerakan tangan Mr. Harold yang sibuk mencoret coret kertas. bayangan tangan Mr. Harold menyentuh dagu Tatiana muncul membuat Taylor semakin meradang.

"Paman menyukainyakan?" perhatian Mr. Harold terhadap berkas berkas dimejanya teralihkan. Kedua alisnya naik mendengar pernyataan tidak masuk akal keponakannya.

"Kenapa kau berpikir seperti itu?"

"Jangan bohong. Aku melihat sendiri, paman memberi perhatian lebih padanya." Jawab Taylor penuh tuduhan. Mr. Harold hanya membuang nafas.

"Aku memberinya perhatian seperti yang aku lakukan pada pegawai lainnya."

"Don't Lie uncle. I can see your eyes." Mata Taylor menyipit semakin memojokkan pamannya.

"Paman menyadari kemiripannyakan? Tapi mereka orang yang berbeda paman." Taylor berkata lambat ada nada sedih dalam suaranya yang bergetar. Mr. Harold berdiri, terkejut dengan apa yang baru dikatakan Taylor.

"Kau... pernah melihatnya?" Mr. Harold bertanya dengan nada hati hati.

"Sekali. Lukisan besar diruang kerja rumah utama." Mr. Harold menggigit bibir bawahnya tak sanggup melihat kesedihan diwajah Taylor yang berdiri didepannya.

"Taylor..."

Perkataan Mr. Harold terputus akibat pintu yang terbuka dan kedatangan seorang wanita tua tapi masih terlihat bugar masuk dengan kepala pelayan mengikutinya dari belakang.

Mata tajamnya yang penuh kerutan melihat Taylor dengan sikap angkuh melewatinya. Taylor membalas tatapannya kemudian keluar begitu saja.

"Dasar anak tidak tahu sopan santun." ketus wanita itu menatap kesal punggung Taylor.

"Apa yang dilakukan monster itu disini?"

"Mom!please.."

Mr. Harold berjalan menuju ibunya. Taylor bisa mendengar dengan jelas nama kecil yang diberikan nenek tirinya. Nama kecil yang terus melekat padanya dari dia lahir hingga sekarang, membuatnya selalu dikuasai amarah setiap mendengar nama itu diucapkan.

Taylor bergegas keluar rumah mencari Diego, meminta bodyguardnya untuk mengantar dirinya kemanapun asal tidak berada disatu tempat yang sama dengan sinenek tua yang membuatnya susah untuk bernafas karna mencium parfumnya yang menyesakkan.

*****

"Ini semua gara gara ayahmu, menyerahkan hampir seluruh harta warisannya kepada anak monster itu sehingga membuatnya menjadi arogan dan tidak tahu diri."

Mr. Harold membuang nafas berat setiap ibunya mulai mengeluh mengenai penyerahan harta warisan yang tertulis disurat wasiat suaminya.

"Kau juga darah dagingnya dan seribu kali lebih baik dari anak monster itu dan ayahnya dalam mengelola semua perusahaan Dawson! Kenapa dia hanya meninggalkan sisa hartanya dan itu pun harus dibagi dua dengan Charlie?! oh, Tuhan terkadang aku tidak bisa mengerti pikiran ayahmu yang nyentrik itu."

Mr. Harold menyerahkan secangkir teh yang dibawa pelayan kedalam ruang kerjanya kepada ibunya yang sibuk meratapi nasib anaknya. Padahal Harold sendiri tidak mempermasalahkan sama sekali.

Harold adalah pria yang berpikiran sederhana tidak ingin terlalu dipusingkan dengan masalah harta ataupun kekayaan yang selalu dikejar kejar ibunya.

"Haroldku adalah anak yang baik dan pintar. Kenapa harus diperlakukan seperti ini." Ibunya memeluk tangan Harold. Harold hanya mengelus punggung tangan ibunya yang terisak.

Harold tahu apa yang dilakukan ibunya semata mata demi masa depannya walaupun caranya terkadang membuat Harold merasa miris dan sedih.

"Dan sekarang kau malah harus menjadi walinya?" ibunya mendengus sambil kuat mencengkram lengan Harold.

"Mom, akulah yang ingin menjadi walinya menggantikan ayah." Harold menekankan kata katanya berusaha membuat ibunya mengerti. Ibunya hanya memutar mata acuh.

"Kenapa mom mencariku?" tanya Harold sambil membuang nafas. Wajah ibunya agak terkejut teringat tujuan awalnya datang kerumah Harold.

"Aku ingin menunjukkan sesuatu padamu," ibunya mencari sesuatu dalam tas kecil yang berada disampingnya kemudian menyerahkan sebuah berkas dan foto.

"Bagaimana? Bukankah dia cantik? namanya Amy dia putri semata wayang keluarga Campbell. Keluarga Campbell salah satu mitra terbesar kita, sangat bagus bagimu jika dapat mempersunting anaknya jadi kita bisa mempertahankan posisimu sebagai ahli waris Dawson Company sebenarnya."

Mata ibunya berbinar menatap Harold yang kelihatan tersiksa menghadapi desakan ibunya untuk menikah dengan pilihan ibunya.

"Mom, aku sudah berapa kali mengatakan hal ini kepadamu.aku belum ingin menikah. Aku ingin fokus pada apa yang ku kerjakan disekolah." ibunya mendengus mendengar jawaban Harold.

"Ya, ya kau sudah mengatakannya ratusan kali sampai mom hapal diluar kepala alasan mu yang tidak jelas itu. Aku tidak menyuruhmu untuk langsung menikahinya Harold, kau bisa berkenalan dulu dengannya."

Harold membuka mulutnya untuk memprotes tapi ibunya langsung memotong.

"Berjanjilah kau akan mencobanya Harold. Untuk ibumu."

Harold selalu lemah setiap ibunya memelas meminta sesuatu padanya seperti sekarang yang membuat Harold sulit untuk menolak.

"Okey. Tapi ini hanya perkenalan bukan sesuatu yang menjanjikan apapun kedepannya."

Ibunya tersenyum senang kemudian mengecup pipi Harold. Beliaupun beranjak keluar dari rumahnya menuju rumah utama keluarga Dawson.

Hanya keinginan ini yang belum bisa Harold wujudkan untuk ibunya karna dia ingin menjaga Taylor sampai dia cukup umur untuk bisa menjaga dirinya sendiri.

Harold sudah bersumpah akan melindungi dan merawat keponakannya dengan nyawanya.

****

"Kenapa kau tidak mengatakan apapun?" tanya Taylor sambil sedikit meringis menahan sakit setiap kali Tatiana membersihkan luka di punggung tangannya dengan cairan antiseptik.

Tatiana terus diam membersihkan luka Taylor tak menatapnya dan tidak ada satu patah kata pun keluar dari bibirnya. Entah kenapa membuat Taylor semakin merasa tidak nyaman.

“bukannya kau menungguku disini karna mengkhawatirkanku? Argh!!”

Tatiana menekankan ibu jarinya diluka Taylor yang baru dibersihkan. Pernyataan Taylor yang penuh percaya diri seketika digantikan pekikan. Membuatnya menarik tangan dari genggaman Tatiana.

Taylor menghembuskan nafasnya dipunggung tangannya yang sakit kemudian melirik Tatiana dengan jengkel yang sibuk mengoleskan kapas dengan cairan antiseptik.

“kemarikan tanganmu.” Taylor menyerahkan tangannya kembali kedalam genggaman Tatiana.

“aku tidak perlu bertanya kenapa dan apa yang membuatmu memukul temanmu, kau sudah besar dan pasti ada alasan yang masuk akal dibalik perbuatanmu.”

Tatiana mengambil obat merah dan mengolesnya diluka Taylor. Dia hanya meringis sambil menggigit bibir ketika perih mulai terasa.

Alasan sebenarnya taylor memukul anak laki laki yang tidak dikenal itu sebenarnya bukanlah alasan yang masuk akal. Dia hanya sedang kesal dengan dirinya dan nenek mandy, nenek tirinya yang kembali datang pagi pagi kerumah Mr. Harold.

Matanya menyorot tajam pada Taylor sambil terus mencecarnya dengan sebutan sebutan yang membuat kupingnya panas. Anak laki laki itu hanya berada ditempat dan waktu yang salah saat melewati Taylor sembari tertawa bersama teman sebelahnya.

Taylor mengamati wajah Tatiana yang menunduk menghembuskan nafasnya membuat obat merah mengering. Beberapa helai rambut tatiana jatuh menutupi wajahnya. Tangan taylor terangkat menyentuh helaian rambut Tatiana dan mengaitkannya dibelakang telinga Tatiana.

Walaupun kulit mereka tidak saling menyentuh tapi Tatiana dan Taylor bisa merasakan sesuatu yang berdesir ditubuh mereka. Taylor cepat cepat menjauhkan tangannya dari wajah Tatiana, sedangkan Tatiana berdeham menepis rasa yang menggelitik ditubuhnya.

‘murid, guru, murid, guru.’

Kata kata itu terus Tatiana ucapkan seperti mantra untuk membuat pikirannya tak melayang ketempat yang tak diinginkannya.Tatiana melepaskan genggamannya kemudian kembali mengambil kapas yang sudah diberi cairan antisepetik.

Menegakkan wajahnya menatap wajah taylor yang penuh luka. Tatiana memajukan tubuhnya mendekat ke tubuh Taylor yang panas dingin berkali kali menelan ludah menahan tubuhnya untuk tidak bereaksi terhadap kedekatan mereka.

Wajah mereka begitu dekat, Tatiana menatap sudut bibir tipis taylor yang berdarah, dia mulai membersihkannya. Taylor meringis lagi, wajahnya semakin menjauh dari kapas yang dipegang Tatiana.

“sshh, tenanglah.”

Tangan Tatiana yang bebas tanpa sadar menyentuh wajah Taylor untuk mendekat. Mereka diam cukup lama sampai Tatiana mencoba menjauh tapi Taylor menahan tangannya. Jari jari taylor masuk kesela sela jari Tatiana, mengaitnya.

“aku butuh ini untuk meredakan rasa sakitnya. Please” Jawab taylor saat melihat alis Tatiana yang melengkung. Taylor memajukan wajahnya meminta Tatiana untuk membersihkan lagi luka diwajahnya. Tatiana mengerjapkan matanya sembari melanjutkan pekerjaannya.

Taylor beberapa kali meremas tangan Tatiana setiap dia meringis kesakitan. Ibu jari Tatiana tanpa sadar mengelus relung antara ibu jari dan telunjuk Taylor untuk menenangkannya.

Tatiana hanya membuang nafas saat membersihkan lebam di tulang pipi kiri Taylor dan goresan di pelipisnya. Wajah tampannya terlihat berantakan akibat luka yang didapatnya tapi hal itu malah membuatnya terlihat jantan, seperti seorang pria.

Tatiana mencoba melepaskan tangannya dari genggaman Taylor setelah selesai mengobati lukanya tapi Taylor malah menarik tangan Tatiana hingga tubuhnya berada diantara paha Taylor.

“apa yang kau lakukan?” Tanya Tatiana kaget dengan mata terbuka lebar menatap wajah Taylor.

“kenapa? apakah kau merasa bergairah sekarang?” balas Taylor sembari memegang pinggang Tatiana, menahannya.

“aku? Tidak, aku sama sekali tidak merasakan itu.” Jawab Tatiana dengan suara yang meninggi.

“ya, kau merasakannya. Akui saja Tatiana.” Taylor mendekatkan wajahnya masih dengan tersenyum puas.

“aku sama sekali tidak merasakan apa apa!” ketus Tatiana. Tatiana berusaha keluar dari genggaman Taylor. Kedua tangannya berada didada Taylor mendorongnya. Tatiana bisa merasakan deru nafas taylor diwajahnya, membuat jantungnya berdegup dengan cepat tapi Tatiana tidak sadar kalau kondisi yang sama juga terjadi pada Taylor.

“ayolah Tatiana kau jelas jelas terlihat bergairah saat ini.” Protes taylor geram melihat kebohongan Tatiana, ibu jari dan telunjuk Taylor berada didagu Tatiana membawa bibirnya mendekat kebibir taylor.

“aku tidak merasakan apapun.” Bibir mereka hanya berjarak beberapa centi sekarang. Mata Taylor yang berwarna cokelat emas menyipit menatap Tatiana yang berkeras mengatakan kalau dia tidak merasakan apa apa padahal Taylor bisa mendengar dengan jelas detak jantung Tatiana yang cepat.

Taylor langsung melumat bibir Tatiana, tanpa aba aba langsung memasukkan lidahnya dan mengait lidah Tatiana. Ciuman itu sama sekali tidak lembut, cenderung kasar dan panas membuat Tatiana terkaget kaget.

Taylor membuat Tatiana kewalahan tak memberikan padanya kesempatan untuk menolak. Lidah taylor terus menggoda, Tatiana hampir limbung berusaha mengumpulkan pikirannya yang mulai bercereran dikuasai gairah yang berusaha ditekannya.

Tangan taylor merayap kepunggung Tatiana, bergerak perlahan dan mengusap lembut punggung Tatiana berbeda dengan bibir dan lidah Taylor yang tak berhenti bercinta didalam bibirnya.

Udara di paru paru mereka semakin menipis membuat Bibir Taylor berhenti menciumnya, mereka berdua berbagi udara dengan terengah engah. Taylor menatap mata Tatiana yang terpejam, dahinya bersandar didahi Tatiana.

“tubuhmu lebih jujur. Mengingatkanku saat kau berada dibawahku selalu merespon setiap kulitku menyentuh kulitmu.”.Suara Taylor yang serak karna gairah menampar dirinya yang dikuasai gairah.

Tatiana mendorong dengan kuat dada Taylor, sehingga Taylor jatuh dari kursi. Tatiana terengah engah menatap Taylor yang mengaduh kesakitan. Mantra kembali diucapkannya dalam hati untuk menjernihkan pikirannya.

“jika kau berani mempermainkan aku lagi, aku akan…”

“permainan tidak akan pernah berhenti kalau kau selalu berbohong Tatiana.”

Taylor berdiri didepan Tatiana yang berusaha menjauh. Tapi tubuh besar Taylor seakan memerangkapnya. Tanpa pikir panjang Tatiana menginjak kaki Taylor dengan ujung hak sepatunya. Taylor menjerit kemudian melompat lompat kebelakang dengan satu kaki terangkat.

“aku sudah bilang padamu jangan mempermainkan aku! Kalau kau masih keras kepala, aku akan mematahkan semua tulang tulangmu dan menyerahkannya ke anjing penjaga gerbang! Kau mengerti?!”

Tatiana mengangkat kedua kepalan tangannya kedepan dengan frustrasi meneriaki Taylor yang terperangah. Taylor kemudian tersenyum melihat Tatiana yang meledak ledak didepannya.

“aku suka melihatmu marah. Penuh energy, andai kau berada diatas tubuhku pasti akan sangat menyenangkan.”

Mata Tatiana terbelalak mendengar ucapan blak blakan Taylor, tiba tiba pintu ruang kesehatan terbuka. Berdiri seorang laki laki paruh baya dengan jas putih kaget melihat dua orang yang menatap kearahnya.

“kenapa kalian ada disini?” tanyanya. Tatiana mengatur posisi berdirinya mencoba menenangkan detak jantungnya yang tidak karuan.

“maaf, sir. Saya hanya mengantar anak ini. Dia sakit.” Tatiana merunjuk isi kepala Taylor yang benar benar sakit karna tak pernah terpakai.

Tangan Tatiana menunjuk kearah Taylor tanpa melihatnya yang masih menyeringai senang membuat laki laki paruh baya itu bingung. Tatiana pun membungkuk dan bergegas pergi.

“taylor, taylor. Ini sudah keberapa kalinya kau mengunjungiku dengan keadaan yang tidak pernah berubah selalu babak belur.” Laki laki itu berjalan menuju lemari obat. Taylor tiba tiba  tertawa terbahak bahak membuat laki laki tua itu melompat kaget.

“saya sudah sehat, sir. Saya permisi.” Taylor mengedipkan matanya dengan senang kearah laki laki tua itu yang menghembuskan nafas sambil mengangguk kecil menyuruh Taylor yang masih tertawa untuk keluar.

Laki laki paruh baya itu mengatur obat obat yang berada diluar kembali kedalam lemari. Dia berjalan menuju tempat tidur yang berada disudut dinding. Digesernya kain yang menjadi pembatas setiap tempat tidur.

“kau sudah tidak pusing lagi?” Tanya laki laki paruh baya itu kepada sosok yang duduk ditepi tempat tidur sambil mengangguk tersenyum kearahnya.

“iya sir, pusingnya sudah hilang.”

“istirahat akan mengembalikan staminamu. Sebaiknya kau kembali kekelas sudah hampir seluruh pelajaran kau tinggalkan.”

“terima kasih, sir.” Sosok itu pun keluar dari ruang kesehatan. Otaknya terus berputar mengingat setiap kata yang Tatiana dan Taylor ucapkan saat dia dia berbaring ditempat tidur mendengar jelas pembincaraan mereka.
 TBC__________________________________

Tidak ada komentar: