Senin, 27 Januari 2014

Hurt Enough (chapter 11)







Panas, tubuhku seperti terbakar. Sesuatu yang dingin bergerak ditanganku yang panas. Begitu banyak suara disekitarku, memanggil mangil namaku.

‘siapa?’ 

Suaraku tak mau keluar, tersekat oleh rasa panas ditenggorokanku. Mataku begitu berat untuk dibuka membuat kepalaku semakin berdenyut. Lagi ada suara suara disampingku memanggil dengan suara yang memilukan.

Sesuatu yang dingin kembali mengelus wajahku yang penuh dengan keringat. Kupaksa mataku untuk terbuka. Sesosok wanita cantik dengan rambut hitam panjang duduk disampingku, eksperesinya begitu cemas.

“Helena?” bisikku dengan suara yang begitu lemah. Aku mencoba untuk bangun tapi Helena menahan tubuhku.

“jangan banyak bergerak Joanna, kau sedang demam tinggi. Taylor sudah menelpon ambulance dan keluargamu sebentar lagi akan datang.”

“kenapa kau bisa ada disini?”

aku terkejut saat mengedarkan pandangan kesekeliling kamar. Teman teman Helena berdiri mengelilingi tempat tidurku. Tiba tiba dadaku terasa sesak seperti ada sesuatu yang hilang.

“Kyle?” suaraku lirih memanggilnya menatap kerumunan yang berdiri didepanku.

“tidak apa-apa Joanna, Kau sudah aman. Polisi berhasil melacak keberadaan kalian melalui nomor telephone yang digunakan Kyle, dia menelponku sehari setelah kau menghilang.“

Aku berusaha mencerna kata kata Helena. Kepalaku semakin berdenyut membuat perutku merasa mual.

“Aku benar-benar minta maaf Joanna. Tidak seharusnya aku meninggalkanmu dan pergi dengan Taylor. Aku mengira kau sedang bersenang senang dengan yang lain, tapi kau sudah tiga hari tidak terlihat membuatku cemas kemudian aku teringat dengan surat yang belum sempat kubuka dan menyuruh pelayan menyerahkannya padamu. Sungguh, aku tidak menyangka dia akan berbuat nekat seperti ini, Joanna. Seharusnya sudah dari dulu aku melaporkannya kepolisi karna menggangguku.” Eksperesi Helena berganti dari sedih menjadi jijik membuatku semakin mual.

“Kyle? Dimana dia?” aku bertanya berharap apa yang kupikirkan tak terjadi. Berharap saat namanya kusebut dia akan datang dari kerumununan didepanku yang menatap kearahku dengan tatapan kasihan, membuatku muak.

“dia sudah dibekuk polisi Joanna, kau sudah aman sekarang” Salah satu teman Helena yang berdiri dibelakangnya menjawab dengan senyum cerah. Aku menatap tak percaya padanya dan kemudian Helena yang ikut tersenyum tapi matanya menilai reaksiku.

“Kyle..”

aku berusaha sekuat tenaga menggerakkan tubuhku yang begitu lemas untuk turun  dari tempat tidur. Benakku terus memanggil nama Kyle menggantikan bibirku yang bergetar tak sanggup berbicara.

Beberapa orang yang kulewati menahan tubuhku yang meronta, berusaha menepis tangan-tangan mereka. Helena memanggilku mencoba ikut menahanku yang berjalan dengan menumpu pada dinding.

“Joanna, kau mau kemana?”

Helena mengeryit menatapku. Aku mengacuhkannya, terus menyeret kakiku yang lemah menuju pintu luar. Serine mobil polisi terdengar kuat membuat hatiku semakin mencelos ketakutan memikirkan Kyle.
Begitu banyak mobil yang berada diperkarangan rumah Kyle. Begitu banyak orang, kepalaku semakin sakit saat mencoba untuk fokus mencari keberadan Kyle.

“Kyle.. Kyle” suaraku lirih memanggil manggilnya, air mataku yang panas meluncur membasahi pipiku saat melihat sosoknya yang membelakangiku berada dalam mobil polisi.

‘Tidak..! tidak.. Kyle!’

Aku berlari dengan tenaga yang tersisa. Terjatuh di perkarangan dan mencoba bangkit menggapai Kyle.

‘Kyle, kau sudah berjanji.. kau sudah berjanji..’

Mobil polisi yang membawa Kyle pergi sebelum aku bisa mencapainya. Air mataku membuat penglihatanku kabur, aku berusaha mengejarnya tapi Helena dan temannya sudah berada didepanku dan menahan tubuhku.

“Joanna, apa yang kau lakukan?” suara Helena begitu histeris, menahan tubuhku yang lemah dan jatuh terkulai ditanah.

“Kyle..” aku terisak memanggilnya.

Penglihatanku semakin kabur, berputar putar saat aku mencoba untuk berdiri. Perutku serasa diaduk aduk membuatku mual hingga kegelapan perlahan lahan  menyelimuti pemandangan disekitarku dan akupun terhisap kedalamnya.

“Joanna!” pekikan Helena tengiang dibenakku saat aku semakin terhisap kedalam tempat gelap.

Semua berputar seperti potongan potongan film yang lambat, Helena berada disampingku mengenggam tanganku saat aku berada dalam mobil ambulance, potongan itu hilang kemudian muncul lagi saat seorang wanita berpakaian putih mendekatiku, cahaya terang menyilaukan menusuk mataku membuat kepalaku berdenyut. Wanita berpakaian putih itu menekan perutku membuatku terlonjak dan mengeluarkan isi perutku, kemudian semua mulai berkabut lagi dan aku kembali tak sadarkan diri.

***

“Joanna?” suara lembut Kyle berhembus ditelingaku.  Mataku yang terbuka berkedip beberapa kali menatap Kyle yang berada disampingku. Tangannya mengelus kepalaku, sambil tersenyum cerah memperlihatkan lesung di pipinya yang sudah lama tak kulihat.

“Kyle?”

aku mulai terbangun dari tidurku. Alis kyle melengkung melihat kebingungan terlihat jelas diwajahku.

“benarkah ini kau?”

Kedua tanganku menangkup pipinya. Kyle hanya tersenyum memiringkan kepalanya menatapku. Aku langsung memeluk lehernya, Kyle yang bingung hanya menepuk nepuk pelan punggungku, seperti biasanya setiap kali aku berada didekapannya Kyle selalu seperti itu, menepuk nepuk pelan menenangkanku.

oh my god. Aku benar benar takut, aku bermimpi Helena dan mereka semua datang, menangkapmu. Syukurlah semua itu hanya mimpi.”

Aku semakin kuat melingkarkan tanganku dilehernya. Tangan Kyle naik menyentuh bahuku kemudian mendorong tubuhku.


“Joanna, itu bukan mimpi. Itu nyata.” Suara Kyle begitu lembut tapi kata katanya menghempaskanku.

“apa?”

“itu nyata, sekarang ini adalah mimpi, Joanna.”

Kyle menyelipkan rambutku kebelakang telingaku. Kyle mulai berdiri, eksperesinya sedih seperti ingin mengucapkan kalimat selamat tinggal. Aku langsung menahan tangannya.

“tidak.. tidak, kau tidak boleh pergi! Kau sudah berjanji padaku, kau sudah berjanji tidak akan meninggalkanku, kau berjanji tidak akan kemana- mana, kau sudah berjanji Kyle!” aku berteriak sambil menangis, tanganku semakin erat menahan tangannya.

“maafkan aku, Joanna.” suara Kyle begitu kecil nyaris terdengar seperti bisikan. Aku terus menggeleng menahannnya.

“tidak Kyle, kumohon..”

Kyle mendekat mengecup bibirku, ciuman basah karna airmataku yang terus mengalir kemudian  tubuh Kyle pun menghilang.

“Kyle!”

aku terbangun dengan mata nyalang menatap langit langit putih, tanganku naik untuk menghalau cahaya lampu yang begitu menyilaukan diatasku. Aku mengernyit menatap selang infus tertancap dipunggung tanganku. Aku mengedarkan pandangan keseluruh ruangan, yang bernuansa putih dan berbau disenfektan yang kuat.
Mataku tertuju pada sosok wanita berambut pirang pendek yang sedang berbicara dengan wanita yang memakai kacamata dan jas putih di depan ku. Seorang laki laki paruh baya  dengan rambut yang penuh uban berdiri dibelakang wanita berambut pirang memegang bahunya.

“mom?” suaraku serak memanggil wanita berambut pendek pirang yang tampak cemas saat sadar aku memanggilnya, mom langsung berdiri disampingku diikuti dad yang juga tampak cemas.

honey, are you okay?” tangan mom mengelus kepalaku.

“kami mengkhawatirkanmu, sweetheart” dad masih memeluk bahu mom, menguatkan mom yang mulai terisak.

I’m sorry dad.”

it’s okay, honey. Kata dokter kau hanya demam dan darah rendah.”

“semua akan baik baik saja, sweetheart

Kedua orang tuaku mencoba bersikap tegar dan menghiburku. Kenapa? Untuk apa? Mereka telah salah paham, Aku bukanlah korban dan Kyle bukanlah penjahat. Kyle?! Aku teringat padanya.

“mom, Kyle.. Kyle..” aku mencoba bangkit tapi mom menahan kedua bahuku.

it’s okay honey, dia sudah dikantor polisi sedang diperiksa.”mom tampak perihatin dengan kondisiku

“Bukti bukti sudah lengkap ditangan polisi, Joanna. pria brengsek itu akan segera masuk penjara.” Dad tampak marah. Dia terus menyumpahi kyle.

‘Tidak, dad kau salah paham, Kyle tidak jahat. Dia tidak bersalah!’

Aku ingin menjelaskan kepada kedua orang tuaku tapi mereka sibuk memaki Kyle. Suaraku yang lirih tak bisa menghentikan mereka bicara untuk mendengarkan kata kataku.

Aku mencoba bangkit sekali lagi, tapi mom kembali menahan bahuku. Aku meronta mencoba turun dari tempat tidur rumah sakit, aku mencabut paksa selang infus yang tertancap dipunggung tanganku. Dad membantu mom untuk menahan tubuh ku yang terus meronta seperti wanita gila.

Ya aku gila, aku frustrasi dengan tubuhku yang begitu lemah, frustrasi dengan mereka yang tak mau mendengarkanku, frustrasi mendengar mereka memaki Kyle tanpa pernah tahu yang sebenarnya, frustrasi dengan diriku yang tak bisa membantu Kyle yang kini sendiri ditempat dingin dan gelap semakin tenggelam dalam  kesendiriannya.

Mom keluar dari kamar, berteriak memanggil suster. Sedangkan Dad sibuk memeluk tubuhku yang meronta, aku meraung dan menangis memintanya melepaskanku.

“sshh… sshh… Joanna, everything can be alright, sweetheart” Dad terus membisikkan kata kata yang menghiburku, mencoba menenangkanku.

Wanita berkacamata yang memakai jas putih kembali datang dengan dua orang suster dibelakangnya diikuti mom yang menutup mulutnya sambil menangis terisak melihatku.

Salah satu suster menahan lenganku, lengan baju diangkat keatas memperlihatkan kulit lenganku yang pucat. Wanita berkacamata itu ikut menahan lenganku yang meronta, aku tersentak saat jarum suntik berwarna perak berkilauan akibat pantulan cahaya lampu ditusuk menembus daging lenganku, rasanya seperti disengat lebah. Pikiranku mulai melayang, penglihatanku menjadi kabur dan terasa berat. Tubuhku perlahan lahan berhenti meronta dan terkulai dalam dekapan dad. Terakhir yang bisa kudengar hanya isakan mom yang tertahan kemudian semua kembali menjadi gelap dan kosong.


TBC...

Tidak ada komentar: